Selasa, 19 Januari 2016

MAKALAH AKUNTANSI INTERNASIONAL
“PENGHINDARAN PAJAK(TAX  AVOIDANCE)’’

                                                 

Disusun oleh:
EMMA DWI HAPSARI
B200120172 / B



BAB 1
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Pajak merupakan sumber penerimaan  Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas. Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak  maupun menggali sumber hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang, penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah persentasenya, namun dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran diri dari pajak ini bisa saja disebut dengan pelanggaran undang undang dan resikonya dapat merugikan Negara.
Perpajakan memainkan peranan penting di Indonesia karena penerimaan pajak mengambil bagian utama dari pendapatan Pemerintah untuk membiayai pembangunan Negara.Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus hati-hati dalam mengamankan penerimaan pajak dari kecurangan.Kecurangan pajak telah menjadi “musuh” utama yang harus menjadi perhatian dari otoritas pajak suatu Negara karena mungkin dapat mengurangi penerimaan pajak secara material.Oleh karena itu, Pemerintah penting untuk memahami makna kecurangan pajak.Dalam perpajakan, ada sejumlah perilaku negative wajib pajak yang mungkin dilakukan untuk memperoleh manfaat pajak.Umumnya ada dua konsep yang harus dipahami yaitu penghindaran pajak dan penyelundupan pajak.Penghindaran pajak berarti transaksi atau pengaturan lain oleh wajib pajak dalam rangka meminimalkan jumlah pajak yang terutang dengan cara yang sah,dengan demikian hal itu bukan merupakan tindak pidana.Sedangkan penyelundupan pajak, di sisi lain adalah pengurangan pajak dengan cara illegal, biasanya termasuk tidak mengungkapkan atau kebohongan yang disengaja.Oleh karena itu, dapat dikenakan sanksi pidana. Upaya  manajemen  perusahaan  untuk  memperoleh  laba  yang diharapkannya melalui penerapan manajemen pajak salah satunya adalah melalui penghindaran pajak (tax avoidance), yaitu mengurangi jumlah pajak dengan cara yang  yang  tidak  melanggar  peraturan  perundang-undangan  perpajakan. Penghindaran  pajak  dapat  juga  didefinisikan  sebagai suatu  bagian  dari  strategi manajemen pajak yang tidak dilarang dalam undang-undang pajak. Menurut Rego (2003), penghindaran pajak sebagai penggunaan metode perencanaan pajak untuk secara legal mengurangi pajak penghasilan  yang dibayarkan. Namun, Desai and Dharmapala  (2006)  melihat  penghindaran  pajak  sebagai  penyalahgunaan  taxshelters.  Penghindaran pajak  yang dilakukan secara ilegal adalah  tax evasion  atau dapat  juga  dianggap  penggelapan  pajak,  yaitu  melakukan  penghindaran  pajak yang  tidak  diperbolehkan  dalam  peraturan  perundang-undangan  perpajakan. Menurut  Prebble  dan  Prebble  (2012),  perbedaan  tax  avoidance  dan  tax  evasionadalah  bahwa  tax  evasion  adalah  ilegal,  yang  terdiri  dari  pelanggaran  yangdisengaja  atau  pengelakan  peraturan  pajak  yang  berlaku  untuk  meminimalkan kewajiban pajak. Tax avoidance merupakan penghindaran pajak yang tidak ilegal, yaitu tindakan mengambil keuntungan pada kesempatanyang ada dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi kewajiban pajak..Dalam paper ini akan membahas tentang penghindaran pajak.




BAB II
Pembahasan
       Pengertian Penghindaran Pajak
Dalam penjelasan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan. Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban investasi. Wajar bila perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif.
.      Menurut Arnold dan McIntyre (1995), penghindaran pajak (tax avoidance) merupakan upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion).Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
(Pohan,2011)Penghindaran pajak merupakan upaya menghindari pajak yang dilakukan
secara  legal  dan  aman  bagi  wajib  pajak  tanpa  bertentangan  dengan  ketentuan perpajakan yang berlaku dimana metode dan tekhnik yang digunakan cenderung memanfaatkan  kelemahan-kelemahan  yang  terdapat  dalam  undang-undang  dan peraturan  perpajakan  itu  sendiri  untuk  memperkecil  jumlah  pajak  terhutang .
Perusahaan yang melakukan tax avoidance, dipandang kreditur sebagai tindakan yang mengandung risiko, sehingga justru meningkatkan cost of debt (Masri dan Martani, 2012).
(The Westminster Principle,1936),berbicara mengenai penghindaran pajak tidak dapat dilepaskan dari suatu pandangan bahwa karena tidak ada hukum yang dilanggar, penghindaran pajak seharusnya tidak dilarang. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sebagaimana dia kehendaki, dan selama tidak ada peraturan yang dilanggar maka otoritas pajak tidak dapat melakukan intervensi.
Pendapat tersebut di atas pertama kali disuarakan dalam putusan pengadilan tertinggi di Inggris dalam kasus yang sangat terkenal yang disebut The Duke of Westminster Case (IRC v Duke of Westminster, 1936). Kasus tersebut terkait dengan suatu kesepakatan antara The Duke of Westminster dengan tukang kebunnya untuk merubah pembayaran gaji tukang kebunnya tersebut menjadi pembayaran anuitas sebagai balas atas jasa-jasa yang telah dilakukan tukang kebunnya di masa lalu. Dalam peraturan perpajakan Inggris pada saat itu, pembayaran anuitas tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya Duke of Westminster, sedangkan pembayaran gaji merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan.
Komisaris pajak melakukan koreksi atas pembayaran tersebut, dengan menyatakan bahwa pembayaran anuitas tersebut secara substansi merupakan pembayaran gaji, sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya. Kasus tersebut berakhir di di pengadilan, di mana hakim menolak koreksi yang dilakukan oleh komisaris pajak tersebut dengan mengatakan:
Every man is entitled, if he can, to order his affairs so that the tax attaching under the appropriate Acts is less than it otherwise would be. If he succeeds in ordering them so as to secure this result, then, however unappreciative the Commissioners of Inland Revenue or his fellow taxpayers may be of his ingenuity, he cannot be compelled to pay an increased tax. (IRC v Duke of Westminster, 1936)
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster tersebut masih bergaung sampai dengan saat ini dan sering kali dikutip dalam beberapa putusan pengadilan yang menyangkut penghindaran pajak, termasuk di Indonesia di mana -walaupun tanpa sumber referensi-, prinsip tersebut dikutip dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor PUT. 29050/PP/M.III/13/2011, di mana hakim berpendapat: “...Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar undang-undang perpajakan...”
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster ini di negara asalnya pada akhirnya telah dibantah melalui kasus Ramsay (W. T. Ramsay v. IRC, 1982) di tahun 1982. Akan tetapi, secara umum doktrin Westminster masih sering dikutip untuk menekankan bahwa penghindaran pajak tidak dapat ditolak semata-mata karena penilaian subjektif dari Otoritas Pajak.
Dari  definisi-definisi  tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa  penghindaran pajak  (tax  avoidance)  pada  intinya  adalah  suatu  cara  untuk  mengurangi  beban pajak  perusahaan  dengan  memanfaatkan  kelemahan-kelemahan  dalam  undang- undang  perpajakan  yang  berlaku,  sehingga  cara  tersebut  tidap  dapat  diaanggap ilegal.

Tindakan-tindakan Penghindaran Pajak
Setiap wajib pajak ataupun badan usaha berusaha untuk meminimalkan beban pajak dengan berbagai tindakan-tindakan tetapi tidak melanggar perundang-undangan perpajakan hal ini dilakukan masih dalam ruang lingkup yang wajar. Dalam implementasinya wajib pajak ataupun badan usaha untuk meminimalkan beban pajak yaitu dengan melakukan perencanaan pajak, perencanaan pajak yang dilakukan dalam perusahaan yaitu dengan melakukan manajemen pajak. Selain itu dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
a.       Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
b.      Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan.
c.       Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
d.      Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar.


Celah-celah Penghindaran Pajak
Tax Avoidance (Penghindaran Pajak) merupakan usaha meminimalkan biaya pajak yang masih dalam koridor Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Biasanya penghindar pajak menggunakan celah-celah dari undang-undang yang belum mengaturnya. Salah satu cara melakukan Tax Avoidance yang populer saat ini adalah dengan menggunakan instrumen keuangan. Karena belum adanya peraturan perpajakan Indonesia yang baku dalam mengatur transaksi instrumen keuangan  tersebut, kita dapat mengintepretasikan pengakuan laba/rugi maupun utang/modal sesuai  pertimbangan manajemen.


Perbedaan Penghindaran Pajak dengan Penggelapan Pajak
Suatu perencanaan pajak atau disebut juga penghindaran pajak,harus dengan jelas dibedakan dengan penyelundupan/penggelapan pajak. Antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai perbedaan yang fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur baik secara teori maupun aplikasinya.Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama yaitu mengurangi beban pajak, namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Perencanaan  pajak  sesungguhnya  merupakan  tindakan  penstrukturan  yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara dengan cara penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran pajak adalah suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran hukum dan akan diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki. Sedangkan penyelundupan pajak merupakan tindakan ilegal yangmelanggar perundang-undangan perpajakan dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak akan dikenai sanksi perpajakan.          
Ada  beberapa  pendapat  para  ahli  yang  membedakan  definisi  antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak, antara lain :
1.      James dan Prest yang diterjemahkan oleh Zain (2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai manipulasi secara ilegal atas penghasilannya  untuk  memperkecil  jumlah  pajak  yang  terutang, sedangkan penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara  legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakanuntuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
2.      Anderson  yang  diterjemahkan  oleh  Zain  (2003)  mendefinisikan, Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang pajak,sedangkan penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.


  Cara-cara Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1.        Menahan Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
a)      Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
b)      Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
Secara moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.
2.        Pindah Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh. Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi usaha/domisilinya.
3.        Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.Selain itu, juga terdapat Celah undang-undang yang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak jelas karena: Kesengajaan pembuat undang-undang.
Hal ini terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya. Dua kepentingan yang paling dominan di parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok buruh dan pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua p;ihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan yang berbeda. Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumusan yang bisa diterima oleh semua pihak. Masing-masing pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, undang-undang tersebut mengambang. Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan negara.




BAB 3
KESIMPULAN

      Kesimpulan
            Penghindaran pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai..Dari pembahasan diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
Bahwa tindakan-tindakan penghindaran pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak perorangan maupun badan usaha untuk mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang bersangkutan. Penghindaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak ataupun badan usaha masih dalam ruang lingkup yang wajar dan tidak melanggar perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau bisa disebut juga legal/sah.
Penghindaran pajak dengan penyelundupan pajak sangat berbeda walaupun memiliki sasaran yang sama yaitu untuk mengurangi beban pajak. Namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Terdapat beberapa tindakan-tindakan dalam penghindaran pajak yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi beban pajak. Yaitu dapat dilakukan dengan cara:
a.       Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak terendah
b.      Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan.
c.       Memilih berbagai alternatif transaksi yang memberikan efek beban pajak terendah.
d.      Memaksimalkan kredit pajak yang telah dibayar.

Dalam kasus ini wajib pajak ataupun badan usaha sering memanfaatkan celah-celah perundang-undangan yang berlaku atau bisa disebut juga loop-holes. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan perundang-undangan yang dapat dimanfaatkan oleh pihak wajib pajak untuk mengurangi beban pajak yang bersangkutan.



















Daftar Pustaka
Gregory v. Helvering, 293 U.S. 465 (1935) 468-470 (Supreme Court (US) 1935).
IRC v Duke of Westminster, AC 1 (HL) (House of Lords (UK) 1936).
Minnesota Tea Co. v Helvering, (1938) 302 US 609 (USSC) (Supreme Court (US) 1938).
Frank Lyon v. United States, 435 U.S. 561, 583-84 (1978) (Supreme Court (US) 1978).
W. T. Ramsay v. IRC, [1982] 1 A.C. 300 (High Court (UK) 1982).
Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, [2005] 2 S.C.R. 601 (Supreme Court (Canada) 2005).
Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011 SCC 63 (Suprem Court (Canada) 2011).
Arnold, B. (2008). A Comparison of Statutory General Anti-Avoidance Rules and Judicial General Anti-Avoidance Doctrines as a Means of Controlling Tax Avoidance: Which is Better? Dalam P. H. John Avery Jones, Comparative Perspectives on Revenue Law (hal. 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Freedman, Loomer, Vella. 2009. Corporate Tax Risk and Tax Avoidance: New Approaches. Legal Reserch Paper Series No.13/2009

Gaertner, F. B. 2009. CEO After-tax Compensation Incentives and Corporate TaxAvoidance.www.ssrn.com

Hogan, Brian. 2010. The Association Between Changes in Auditor Provided Tax Service
and Corporate Tax Avoidance. www.ssrn.com

Desai, M. A. dan D. Dharmapala. 2007. Corporate Tax Avoidance and Firm Value.Journal of
Financial Economics
Freedman, Loomer, Vella. 2009. Corporate Tax Risk and Tax Avoidance: New Approaches.
Legal Reserch Paper Series No.13/2009.
Xynas, Lidia, 2011, Tax Planning, Avoidance  and Evasion  in Australia 1970-2010: The
Regulatory Responses and Taxpayer Compliance, Revenue Law Journal, 20-1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar