MAKALAH AKUNTANSI INTERNASIONAL
“PENGHINDARAN PAJAK(TAX
AVOIDANCE)’’
Disusun oleh:
EMMA DWI HAPSARI
B200120172 / B
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak merupakan sumber
penerimaan Negara disamping penerimaan dari sumber migas dan non migas.
Dengan posisi yang sedemikian penting itu pajak merupakan penerimaan strategis
yang harus dikelola dengan baik oleh negara. Dalam struktur keuangan Negara
tugas dan fungsi penerimaan pajak dijalankan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dibawah Departemen Keuangan Republik Indonesia.Dari tahun ke tahun telah banyak
dilakukan berbagai kebijakan untuk meningkatkan penerimaan pajak sebagai sumber
penerimaan Negara. Kebijakan tersebut dapat dilakukan melalui penyempurnaan
undang-undang, penerbitan peraturan perundang-undangan baru dibidang
perpajakan, guna meningkatkan kepatuhan wajib pajak maupun menggali sumber
hukum pajak lainnya Berbagai upaya yang dilakukan belum menunjukkan perubahan
yang signifikan bagi penerimaan Negara. Bahkan kondisi ini makin diperparah
pada tahun 1997 dengan terjadinya krisis ekonomi bahkan krisis multi dimensi
yang sampai sekarang ini belum terselesaikan di Indonesia.
Pada umumnya dinegara berkembang,
penerimaan pajaknya yang terbesar berasal dari pajak tidak langsung, Hal ini
disebabkan Negara berkembang golongan berpenghasilan tinggi lebih rendah
persentasenya, namun
dalam hal ini masih saja banyak terjadi pengusaha yang menghindarkan diri dari
pajak atau dalam arti lainnya melakukan penyelewengan pajak dimana penghindaran
diri dari pajak ini bisa saja disebut dengan pelanggaran undang undang dan
resikonya dapat merugikan Negara.
Perpajakan memainkan peranan penting di Indonesia
karena penerimaan pajak mengambil bagian utama dari pendapatan Pemerintah untuk
membiayai pembangunan Negara.Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus hati-hati dalam
mengamankan penerimaan pajak dari kecurangan.Kecurangan pajak telah menjadi
“musuh” utama yang harus menjadi perhatian dari otoritas pajak suatu Negara
karena mungkin dapat mengurangi penerimaan pajak secara material.Oleh karena
itu, Pemerintah penting untuk memahami makna kecurangan pajak.Dalam perpajakan,
ada sejumlah perilaku negative wajib pajak yang mungkin dilakukan untuk
memperoleh manfaat pajak.Umumnya ada dua konsep yang harus dipahami yaitu
penghindaran pajak dan penyelundupan pajak.Penghindaran pajak berarti transaksi
atau pengaturan lain oleh wajib pajak dalam rangka meminimalkan jumlah pajak
yang terutang dengan cara yang sah,dengan demikian hal itu bukan merupakan
tindak pidana.Sedangkan penyelundupan pajak, di sisi lain adalah pengurangan
pajak dengan cara illegal, biasanya termasuk tidak mengungkapkan atau
kebohongan yang disengaja.Oleh karena itu, dapat dikenakan sanksi pidana. Upaya manajemen
perusahaan untuk memperoleh
laba yang diharapkannya melalui
penerapan manajemen pajak salah satunya adalah melalui penghindaran pajak (tax avoidance),
yaitu mengurangi jumlah pajak dengan cara yang
yang tidak melanggar
peraturan perundang-undangan perpajakan. Penghindaran pajak
dapat juga didefinisikan
sebagai suatu bagian dari
strategi manajemen pajak yang tidak dilarang dalam undang-undang pajak.
Menurut Rego (2003), penghindaran pajak sebagai penggunaan metode perencanaan
pajak untuk secara legal mengurangi pajak penghasilan yang dibayarkan. Namun, Desai and Dharmapala (2006)
melihat penghindaran pajak
sebagai penyalahgunaan taxshelters.
Penghindaran pajak yang dilakukan
secara ilegal adalah tax evasion atau dapat
juga dianggap penggelapan
pajak, yaitu melakukan
penghindaran pajak yang tidak
diperbolehkan dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan. Menurut Prebble
dan Prebble (2012),
perbedaan tax avoidance
dan tax evasionadalah
bahwa tax evasion
adalah ilegal, yang terdiri dari
pelanggaran yangdisengaja atau
pengelakan peraturan pajak
yang berlaku untuk
meminimalkan kewajiban pajak. Tax avoidance merupakan penghindaran pajak
yang tidak ilegal, yaitu tindakan mengambil keuntungan pada kesempatanyang ada
dalam peraturan perpajakan untuk mengurangi kewajiban pajak..Dalam paper ini
akan membahas tentang penghindaran pajak.
BAB II
Pembahasan
Pengertian Penghindaran Pajak
Dalam penjelasan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP) telah dinyatakan bahwa pajak merupakan salah satu
sarana dan hak tiap wajib pajak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan. Namun bagi pelaku bisnis pajak dianggap sebagai beban
investasi. Wajar bila perusahaan/pengusaha berusaha untuk menghindari beban
pajak dengan melakukan perencanaan pajak yang efektif.
. Menurut Arnold dan McIntyre (1995), penghindaran pajak (tax
avoidance) merupakan upaya penghindaran atau penghematan pajak yang masih dalam
kerangka memenuhi ketentuan perundangan (lawful fashion).Perbuatan dengan cara
sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena
pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan
undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak
secara yuridis. Contoh: Di Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura).
Menurut undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai
biaya. Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam
penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan
menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras
dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih
terdapat berbagai celah (loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar
jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara
keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar
sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan
jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan
tidak menyalahi ketentuan yang berlaku.
(Pohan,2011)Penghindaran
pajak merupakan upaya menghindari pajak yang dilakukan
secara legal
dan aman bagi
wajib pajak tanpa
bertentangan dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dimana
metode dan tekhnik yang digunakan cenderung memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang
terdapat dalam undang-undang
dan peraturan perpajakan itu sendiri untuk
memperkecil jumlah pajak
terhutang .
Perusahaan
yang melakukan tax avoidance, dipandang kreditur sebagai tindakan yang
mengandung risiko, sehingga justru meningkatkan cost of debt (Masri dan
Martani, 2012).
(The Westminster Principle,1936),berbicara mengenai penghindaran pajak
tidak dapat dilepaskan dari suatu pandangan bahwa karena tidak ada hukum yang
dilanggar, penghindaran pajak seharusnya tidak dilarang. Setiap orang memiliki
kebebasan untuk mengatur urusannya masing-masing sebagaimana dia kehendaki, dan
selama tidak ada peraturan yang dilanggar maka otoritas pajak tidak dapat melakukan
intervensi.
Pendapat tersebut di atas
pertama kali disuarakan dalam putusan pengadilan tertinggi di Inggris dalam
kasus yang sangat terkenal yang disebut The Duke of Westminster Case (IRC v
Duke of Westminster, 1936). Kasus tersebut terkait dengan suatu
kesepakatan antara The Duke of Westminster dengan tukang kebunnya untuk merubah
pembayaran gaji tukang kebunnya tersebut menjadi pembayaran anuitas sebagai
balas atas jasa-jasa yang telah dilakukan tukang kebunnya di masa lalu. Dalam
peraturan perpajakan Inggris pada saat itu, pembayaran anuitas tersebut dapat
dikurangkan dari penghasilan kena pajaknya Duke of Westminster, sedangkan
pembayaran gaji merupakan biaya yang tidak dapat dikurangkan.
Komisaris pajak melakukan koreksi atas pembayaran
tersebut, dengan menyatakan bahwa pembayaran anuitas tersebut secara substansi
merupakan pembayaran gaji, sehingga tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
Kasus tersebut berakhir di di pengadilan, di mana hakim menolak koreksi yang
dilakukan oleh komisaris pajak tersebut dengan mengatakan:
Every man is entitled, if he can, to order his
affairs so that the tax attaching under the appropriate Acts is less than it
otherwise would be. If he succeeds in ordering them so as to secure this
result, then, however unappreciative the Commissioners of Inland Revenue or his
fellow taxpayers may be of his ingenuity, he cannot be compelled to pay an
increased tax. (IRC v Duke of Westminster, 1936)
Prinsip dalam kasus The Duke of Westminster
tersebut masih bergaung sampai dengan saat ini dan sering kali dikutip dalam
beberapa putusan pengadilan yang menyangkut penghindaran pajak, termasuk di
Indonesia di mana -walaupun tanpa sumber referensi-, prinsip tersebut dikutip
dalam Putusan Pengadilan Pajak nomor PUT. 29050/PP/M.III/13/2011, di mana hakim
berpendapat: “...Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana
mereka bertransaksi untuk menekan beban pajaknya sepanjang tidak melanggar
undang-undang perpajakan...”
Prinsip dalam kasus The Duke of
Westminster ini di negara asalnya pada akhirnya telah dibantah melalui kasus
Ramsay (W. T. Ramsay v. IRC, 1982) di tahun 1982. Akan tetapi, secara umum
doktrin Westminster masih sering dikutip untuk menekankan bahwa penghindaran
pajak tidak dapat ditolak semata-mata karena penilaian subjektif dari Otoritas
Pajak.
Dari
definisi-definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa penghindaran pajak (tax
avoidance) pada intinya
adalah suatu cara
untuk mengurangi beban pajak
perusahaan dengan memanfaatkan
kelemahan-kelemahan dalam undang- undang perpajakan
yang berlaku, sehingga
cara tersebut tidap
dapat diaanggap ilegal.
Tindakan-tindakan Penghindaran Pajak
Setiap
wajib pajak ataupun badan usaha berusaha untuk meminimalkan beban pajak dengan
berbagai tindakan-tindakan tetapi tidak melanggar perundang-undangan perpajakan
hal ini dilakukan masih dalam ruang lingkup yang wajar. Dalam implementasinya
wajib pajak ataupun badan usaha untuk meminimalkan beban pajak yaitu dengan
melakukan perencanaan pajak, perencanaan pajak yang dilakukan dalam perusahaan
yaitu dengan melakukan manajemen pajak. Selain itu dalam ketentuan
perpajakan, masih terdapat berbagai celah –loophole- yang dapat
dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang dibayar oleh perusahaan
optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal disini diartikan sebagai,
perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang semestinya tidak harus dibayar,
membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling sedikit’ namun tetap dilakukan dengan
cara yang elegan dan tidak menyalahi ketentuan yang berlaku. Selain menghindari
transaksi yang merupakan obyek pajak, langkah-langkah penghematan pajak yang
dapat dilakukan oleh perusahaan antara lain :
a. Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak
terendah
b. Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan.
c. Memilih berbagai alternatif transaksi yang
memberikan efek beban pajak terendah.
d.
Memaksimalkan
kredit pajak yang telah dibayar.
Celah-celah Penghindaran Pajak
Tax Avoidance (Penghindaran
Pajak) merupakan usaha meminimalkan biaya pajak yang masih dalam koridor
Undang-Undang dan peraturan yang berlaku. Biasanya penghindar pajak menggunakan
celah-celah dari undang-undang yang belum mengaturnya. Salah satu cara
melakukan Tax Avoidance yang
populer saat ini adalah dengan menggunakan instrumen keuangan. Karena belum
adanya peraturan perpajakan Indonesia yang baku dalam mengatur transaksi
instrumen keuangan tersebut, kita dapat mengintepretasikan pengakuan
laba/rugi maupun utang/modal sesuai pertimbangan manajemen.
Perbedaan Penghindaran Pajak dengan
Penggelapan Pajak
Suatu perencanaan pajak atau disebut juga penghindaran
pajak,harus dengan jelas dibedakan dengan penyelundupan/penggelapan pajak.
Antara penghindaran pajak dan penyelundupan pajak mempunyai perbedaan yang
fundamental, namun kemudian perbedaan tersebut menjadi kabur baik secara teori
maupun aplikasinya.Walaupun pada dasarnya antara penghindaran pajak dan
penyelundupan pajak mempunyai sasaran yang sama yaitu mengurangi beban pajak,
namun berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah
antara melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang
(lawful).
Perencanaan pajak sesungguhnya
merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan
konsekuensi potensi pajaknya, yang tujuannya adalah bagaimana pengendalian
tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan dibayarkan kepada negara
dengan cara penghindaran pajak dan bukan penyelundupan pajak. Penghindaran
pajak adalah suatu tindakan yang legal, dimana tidak ada suatu pelanggaran
hukum dan akan diperoleh penghematan pajak dengan cara mengendalikan tindakan
agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki.
Sedangkan penyelundupan pajak merupakan tindakan ilegal yangmelanggar
perundang-undangan perpajakan dimana bila hal tersebut dilakukan, Wajib Pajak
akan dikenai sanksi
perpajakan.
Ada beberapa pendapat para
ahli yang membedakan definisi antara penghindaran pajak
dan penyelundupan pajak, antara lain :
1. James dan Prest yang diterjemahkan
oleh Zain (2003) mendefinisikan, Penyelundupan pajak mengandung arti sebagai
manipulasi secara ilegal atas penghasilannya untuk
memperkecil jumlah pajak yang terutang, sedangkan
penghindaran pajak diartikan sebagai manipulasi penghasilannya secara
legal yang masih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakanuntuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.
2. Anderson yang
diterjemahkan oleh Zain (2003) mendefinisikan,
Penyelundupan pajak adalah penyelundupan pajak yang melanggar undang-undang
pajak,sedangkan penghindaran pajak adalah cara mengurangi pajak yang masih
dalam batas ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dapat
dibenarkan, terutama melalui perencanaan pajak.
Cara-cara Penghindaran Pajak
Penghindaran pajak dilakukan dengan 3 cara, yaitu:
1.
Menahan
Diri
Yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak
melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak. Contoh:
a)
Tidak merokok agar terhindar dari cukai tembakau.
b)
Tidak menggunakan ikat pinggang dari kulit ular atau
buaya agar terhindar dari pajak atas pemakaian barang tersebut. Sebagai
gantinya, menggunakan ikat pinggang dari plastik.
Secara
moral, hal ini tidak tercela karena tidak ada orang yang akan menganggap
perbuatan seorang perokok yang mengurangi kebiasaan merokoknya sebagai orang
yang menghindari pajak. Malah, orang yang mengurangi, atau malah tidak merokok
sama sekali dianggap sebagai tindakan terpuji.
2.
Pindah
Lokasi
Memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang
tarif pajaknya tinggi ke lokasi yang tarif pajaknya rendah. Contoh: Di
Indonesia, diberikan keringanan bagi investor yang ingin menanamkan modalnya di
Indonesia Timur. Namun, pindah lokasi tidak semudah itu dilakukan oleh wajib
pajak. Mereka harus memikirkan tentang transportasi, akomodasi, SDM, SDA, serta
fasilitas-fasilitar yang menunjang usaha mereka. Hal ini harus sesuai dengan
kentungan yang akan mereka dapatkan dan keringanan pajak yang mereka peroleh.
Biasanya, hal ini jarang terjadi. Yang terjadi hanya pada pengusaha yang baru
membuka usaha, atau perusahaan yang akan membuka cabang baru. Mereka membuka
cabang baru di tempat yang tarif pajaknya lebih rendah.
Hal ini tidak tercela karena
merupakan hak asasi setiap orang untuk memilih tempat atau lokasi
usaha/domisilinya.
3.
Penghindaran
Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga
perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan
dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah
yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Contoh: Di
Indonesia, untuk pegawai diberi tunjangan beras (in natura). Menurut
undang-undang yang berlaku, hal ini tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Penghindarannya dengan cara: perusahaan bekerjasama dengan yayasan dalam
penyaluran tunjangan ini. Perusahaan memberi uang kepada yayasan, dan yayasan
menyalurkannya ke pegawai dalam bentuk beras. Jadi, pegawai tetap dapat beras
dan hal itu dibebankan sebagai biaya sehingga pajaknya berkurang.
Dalam ketentuan perpajakan, masih terdapat berbagai celah
(loophole) yang dapat dimanfaatkan oleh perusahaan agar jumlah pajak yang
dibayar oleh perusahaan optimal dan minimum (secara keseluruhan). Optimal
disini diartikan sebagai, perusahaan tidak membayar sesuatu (pajak) yang
semestinya tidak harus dibayar, membayar pajak dengan jumlah yang ‘paling
sedikit’ namun tetap dilakukan dengan cara yang elegan dan tidak menyalahi
ketentuan yang berlaku.Selain itu, juga terdapat Celah undang-undang yang
merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu
undang-undang dirumuskan tidak jelas karena: Kesengajaan pembuat
undang-undang.
Hal ini
terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang tersebut adalah pemerintah
dan parlemen, di mana parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan
bisa saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya. Dua kepentingan
yang paling dominan di parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok
buruh dan pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua
p;ihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi
masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan yang
berbeda. Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumusan yang bisa diterima
oleh semua pihak. Masing-masing pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut
sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, undang-undang
tersebut mengambang. Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya
dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan negara.
BAB
3
KESIMPULAN
Kesimpulan
Penghindaran
pajak merupakan suatu praktik yang secara umum disepakati sebagai suatu
tindakan yang tidak dapat diterima dan harus dicegah serta dilawan. Akan
tetapi, kenyataan bahwa penghindaran pajak dilakukan dengan memanfaatkan celah
dalam peraturan perpajakan sehingga secara literal tidak melanggar hukum
membuat isu tersebut menjadi isu diskusi yang tak kunjung usai..Dari pembahasan diatas maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu :
Bahwa tindakan-tindakan penghindaran
pajak dapat dilakukan oleh wajib pajak perorangan maupun badan usaha untuk
mengurangi atau meminimalkan beban pajak yang bersangkutan. Penghindaran pajak
yang dilakukan oleh wajib pajak ataupun badan usaha masih dalam ruang lingkup
yang wajar dan tidak melanggar perundang-undangan perpajakan yang berlaku atau
bisa disebut juga legal/sah.
Penghindaran pajak dengan penyelundupan pajak sangat berbeda
walaupun memiliki sasaran yang sama yaitu untuk mengurangi beban pajak. Namun
berdasarkan konsep perundang-undangan, garis pemisah yang jelas adalah antara
melanggar undang-undang (unlawful) dan tidak melanggar undang-undang (lawful).
Terdapat beberapa tindakan-tindakan dalam penghindaran pajak
yang dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi beban pajak. Yaitu dapat
dilakukan dengan cara:
a. Memilih Bentuk usaha yang memiliki tarif Pajak
terendah
b. Memaksimalkan biaya yang telah dikeluarkan agar
dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan.
c. Memilih berbagai alternatif transaksi yang
memberikan efek beban pajak terendah.
d.
Memaksimalkan
kredit pajak yang telah dibayar.
Dalam kasus ini wajib pajak ataupun badan usaha sering
memanfaatkan celah-celah perundang-undangan yang berlaku atau bisa disebut juga
loop-holes. Hal ini terjadi karena adanya kesenjangan perundang-undangan yang
dapat dimanfaatkan oleh pihak wajib pajak untuk mengurangi beban pajak yang
bersangkutan.
Daftar Pustaka
Gregory v. Helvering, 293 U.S. 465 (1935) 468-470 (Supreme Court (US) 1935).
IRC v Duke of Westminster, AC 1 (HL) (House of Lords (UK) 1936).
Minnesota Tea Co. v Helvering, (1938) 302 US 609 (USSC) (Supreme Court (US) 1938).
Frank Lyon v. United States, 435 U.S. 561, 583-84 (1978) (Supreme Court (US) 1978).
W. T. Ramsay v. IRC, [1982] 1 A.C. 300 (High Court (UK) 1982).
Canada Trustco Mortgage Co. v. Canada, [2005] 2 S.C.R. 601 (Supreme Court (Canada) 2005).
Copthorne Holdings Ltd. v. Canada, 2011 SCC 63 (Suprem Court (Canada) 2011).
Arnold, B. (2008). A Comparison of Statutory General Anti-Avoidance Rules and Judicial General Anti-Avoidance Doctrines as a Means of Controlling Tax Avoidance: Which is Better? Dalam P. H. John Avery Jones, Comparative Perspectives on Revenue Law (hal. 1). Cambridge: Cambridge University Press.
Freedman, Loomer, Vella. 2009. Corporate Tax Risk and Tax
Avoidance: New Approaches. Legal Reserch Paper Series No.13/2009
Gaertner, F. B. 2009. CEO After-tax Compensation
Incentives and Corporate TaxAvoidance.www.ssrn.com
Hogan, Brian. 2010. The Association Between Changes in
Auditor Provided Tax Service
and Corporate Tax Avoidance. www.ssrn.com
Desai, M. A. dan D. Dharmapala. 2007. Corporate Tax Avoidance
and Firm Value.Journal of
Financial Economics
Freedman, Loomer, Vella. 2009. Corporate Tax Risk and
Tax Avoidance: New Approaches.
Legal Reserch Paper Series No.13/2009.
Xynas, Lidia, 2011, Tax Planning, Avoidance and Evasion
in Australia 1970-2010: The
Regulatory Responses and Taxpayer Compliance, Revenue
Law Journal, 20-1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar