RESIKO
PAJAK
Disusun
Oleh :
DANANG
PRIYAMBODO
B200120406
/ B
Transfer
Pricing
Gunadi (1994)
mengemukakan bahwa Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan
sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga
secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah
perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara.
Mohammad Zain (1994)
harga transfer merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen
atas transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya,
termasuk determinasi harga untukbarang, imbalan atas jasa, tingkat bunga
pinjaman, beban atas persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang.
Transfer
Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara
Transfer pricing
adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi
baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang
dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer
pricing, yaitu intra-company dan inter-company transfer pricing. Intra-company
transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi dalam satu perusahaan.
Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua
perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksinya sendiri bisa
dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun dengan negara
yang berbeda (international transfer pricing).
Transfer pricing
merupakan salah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional karena perusahaan multinasional memiliki perusahaan asing yang memungkinkan
perusahaan melakukan transfer pricing. Menurut Desriana (dalam Kiswanto dan
Purwaningsih,2014) berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011,
mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) yaitu “penentuan
harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa”.
R.
Feinschreiber, dalam Darussalam, dkk (2013) mengemukakan transfer pricing dalam
perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang
dilakukan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dalam praktek bisnis,
transfer pricing sering dilakukan perusahaan multinasional yang berada satu
grup dengan perusahaan tersebut. Perusahaan multinasional adalah perusahaan
yang beroperasi di lebih dari satu negara di bawah pengendalian satu pihak
tertentu. Dimana Wajib Pajak menetapkan harga transfer ketika menjual, membeli,
ataupun membagi sumber daya (berwujud maupun tidak berwujud) dengan afiliasinya
(Arnold dan McIntyre, dalam Darussalam, dkk 2013).
Eden (2001)
dalam Darussalam dan Sepriadi (2008) mengistilahkan transfer pricing
manipulation dengan suatu kegiatan untuk memperbesar biaya atau merendahkan
tagihan yang bertujuan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Manipulasi
harga yang dapat dilakukan dengan transfer pricing antara lain manipulasi pada:
·
Harga penjualan
·
Harga pembelian
·
Alokasi biaya
administrasi dan umum atau pun pada biaya overhead
·
Pembebanan bunga atas
pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
·
Pembayaran komisi,
lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas
jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya
·
Pembelian harta
perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa
yang lebih rendah dari harga pasar
·
Penjualan kepada pihak
luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha
(seperti: dummy company, letter box company atau reinvoicing center
Contoh sederhana
dari abuse of transfer pricing adalah sebuah perusahaan—X Corp—berkedudukan di
negara X memiliki anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT LION, yang bergerak di
bidang industri mainan. Untuk memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT
LION mengimpor bahan baku dari X Corp. Harga wajar bahan baku tersebut di pasar
misal US$10/pcs. Tapi, dalam transaksi antara X Corp dengan PT LION, harga
bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/pcs. Sehingga ada mark up
sebesar US$20/pcs. Harga US$10/pcs ini tidak akan mungkin terjadi jika transaksi
tersebut dilakukan dengan perusahaan yang bukan dalam satu grup atau tidak
mempunyai hubungan istimewa. Sehingga tidak terjadi prinsip harga pasar wajar
pada transaksi ini (arm’s length price principle).
Contoh lain yang
umumnya sering digunakan dalam transfer pricing adalah misalkan X Corp tidak
bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di Indonesia, tetapi menjual dulu
kepada anak perusahaan yang berkedudukan di Filipina. Lalu, dari Filipina
barang tersebut dijual ke perusahaan yang ada di Malaysia, baru setelah itu
perusahaan di Malaysia melakukan transaksi dengan perusahaan di Indonesia.
Sehingga ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali-kali lipat.
Dengan begitu, jelas saja PT LION yang berkedudukan di Indonesia akan menderita
kerugian karena ia harus membayar bahan baku dengan harga yang jauh lebih
tinggi daripada harga wajar. Sehingga potensi pajak yang seharusnya dibayarkan
oleh PT LION ke negara menjadi hilang karena PT LION mencatat kerugian atau keuntungannya mengecil
karena praktik transfer pricing.
Dari
contoh-contoh sederhana di atas, terlihat bahwa abuse of transfer pricing hanya
dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional yang mempunyai anak-anak
perusahaan di berbagai negara (international transfer pricing). Sedangkan
domestic transfer pricing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi
penerimaan pajak pada negara tersebut karena pengurangan laba/penghasilan di
satu perusahaan akan mengakibatkan penambahan laba/penghasilan di perusahaan
lainnya sehingga hasilnya akan sama ke penerimaan pajak. Walaupun domestic
transfer pricing masih dapat digunakan untuk mengalihkan laba dari suatu
perusahaan ke perusahaan lain yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.
Penjelasan di
atas menunjukkan bahwa abuse of transfer pricing sangat berpotensi menyebabkan
risiko berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak. Rumor
menyebutkan bahwa potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat praktik abuse
of transfer pricing mencapai Rp1.300 triliun/tahun. Jumlah yang sangat
mencengangkan karena jumlah tersebut mencapai sekitar 114% dari target
penerimaan pajak tahun 2013. Pemerintah Indonesia sendiri mulai memperhatikan
praktik transfer pricing pada tahun 1993, itu pun hanya diatur secara singkat
melalui SE-04/PJ.7/1993 yang kemudian disusul dengan KMK-650/KMK.04/1994
tentang daftar tax haven countries. Setelah itu baru pada tahun 2009 (setelah
16 tahun), Indonesia lebih serius memperhatikan praktik transfer pricing
melalui UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Transfer Pricing dalam Peraturan Perpajakan
Indonesia
Peraturan
tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36 Tahun
2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan
bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali
besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai
dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan
istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode
biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (1)
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling
rendah 25% pada Wajib Pajak lain; (2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung; atau (3) terdapat hubungan keluarga baik
sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu
derajat.
Aturan lebih
lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan Dirjen Pajak
Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun
2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu
harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi
tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.
Dalam Peraturan
Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arm’s length principle dilakukan dengan menggunakan langkah-langkah: (1)
melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding; (2) menentukan
metode penentuan harga transfer yang tepat; (3) menerapkan prinsip kewajaran
dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode
penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara
Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (4)
mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Aturan ini juga
menyebutkan metode apa yang dapat digunakan untuk menentukan harga transfer
yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang melakukan transfer
pricing, yaitu:
a. Metode
perbandingan harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP) Metode ini membandingkan
harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa tersebut dengan harga
transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
(pembanding independen), baik itu internal CUP maupun eksternal CUP. Metode ini
sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi yang sering menjadi
permasalahan adalah mencari barang yang benar-benar sejenis.
Contoh
penerapan:
PT LION menyerahkan penjualan
barang X kepada afiliasinya PT Y dengan harga franko tujuan Rp10.000.000. Di
saat yang sama PT LION juga menjual barang X kepada pihak ketiga PT KLM dengan
harga franko pabrik Rp10.000.000 dan biaya pengangkutan dan asuransi Rp500.000.
Dengan metode CUP harga jual wajar barang X dari PT ABC kepada PT Y adalah
Rp10.000.000 + Rp500.000 = Rp10.500.000.
b. Metode
Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) Metode ini digunakan dalam
hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha perdagangan, di mana produk yang
telah dibeli dari pihak yang mempunyai hubungan istimewa dijual kembali
(resale) kepada pihak lainnya (yang tidak mempunyai hubungan istimewa). Harga
yang terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan laba kotor (mark
up) wajar sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang mempunyai hubungan
istimewa.
Contoh
penerapan:
PT A menyerahkan barang kepada
afiliasinya PT B dengan harga Rp10.000.000. PT B kemudian menyerahkan barang
tersebut kepada pihak ketiga PT C (independen) dengan harga Rp20.000.000.
Diketahui ternyata ada transaksi antara pihak independen, yaitu PT Z yang juga
menyerahkan produk yang sejenis kepada PT Y dengan kenaikan harga jual (mark
up) 20%. Dengan demikian, harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah
Rp20.000.000 - (20% x Rp20.000.000) = Rp16.000.000. Jadi, harga jual PT A
terlalu rendah dari yang seharusnya karena ada transfer pricing.
c. Metode
Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode
ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh
perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari
transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa.
Umumnya digunakan pada usaha pabrikasi.
Contoh penerapan:
PT A memproduksi barang dengan
biaya Rp500.000 dan menyerahkan barang tersebut kepada afiliasinya PT B dengan
harga Rp900.000. PT Y juga memproduksi produk sejenis dengan biaya sebesar
Rp600.000 dan menjualnya kepada PT Z (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga
Rp900.000. Dari penjualan PT Y terlihat
bahwa persentase laba kotor dari biaya adalah sebesar 30 : 60 = 50 %. Dengan
cost-plus method, dapat diketahui bahwa harga wajar penjualan PT A ke PT B
adalah: Rp500.000 + (50% x Rp500.000) = Rp750.000. Jadi, bisa dianggap bahwa
harga beli PT B lebih mahal dari yang seharusnya dan dapat dikoreksi biayanya
oleh kantor pajak.
d. Metode
Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)
Metode
ini dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi
yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut
dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan
perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari
kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan
menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode
Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
e. Metode
Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) Metode ini
dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya,
terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi
antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba
bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang
tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang
diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa lainnya.
Rekomendasi
Mitigasi Risiko
Aturan
perpajakan di Indonesia sudah cukup komprehensif mengatur tentang praktik
praktik transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Namun, di
lapangan masih banyak terjadi praktik-praktik abuse of transfer pricing yang
sangat merugikan bagi penerimaan pajak. Hal ini terutama disebabkan karena
masih sangat kurangnya sumber daya manusia di lingkungan DJP yang mengerti
tentang transfer pricing, padahal jumlah perusahaan multinasional yang
beraktifitas di Indonesia semakin banyak dengan adanya globalisasi, semakin
terbukanya perekonomian dunia serta menariknya pasar Indonesia di mata investor
dunia.
Prinsip self
assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia memungkinkan Wajib
Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya
sendiri. Hal ini berarti Wajib Pajak lah yang pertama kali menentukan berapa
pajak yang mereka setor kepada negara. Jumlah pembayaran pajak tersebut baru
dapat berubah apabila DJP melakukan pemeriksaan atau penelitian atas jumlah
pajak yang disetor. Tetapi jumlah pemeriksa pajak yang mengerti tentang
transfer pricing di DJP masih sangat minim sehingga pengawasan/pemeriksaan yang
dapat dilakukan terhadap perusahaan multinasional juga sangat terbatas. Selain
itu, kualitas pemeriksaan yang dihasilkan juga cukup memprihatinkan. Akibatnya
apabila Wajib Pajak melakukan banding atas jumlah ketetapan pajak yang
dikeluarkan oleh DJP ke Pengadilan Pajak, sebagian besar mengalami kekalahan
karena fiskus tidak dapat mempertahankan argumennya atau argumennya kurang kuat
dibandingkan argumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau konsultannya. Hal
ini menyebabkan jumlah penerimaan negara kembali berkurang.
Hal lain yang
menyebabkan DJP lemah dalam masalah transfer pricing adalah kurangnya database
informasi yang dimiliki oleh DJP. Kalau pun databasenya tersedia tetapi sangat
sedikit fiskus yang menguasai atau dapat mengakses database tersebut. Padahal
untuk menggunakan metode-metode penerapan harga transfer sebagaimana
diungkapkan di atas sangat dibutuhkan database yang lengkap tentang keadaan
ekonomi, produk, industri, tingkat laba, perusahaan, royalti, lisensi, harga
jasa-jasa, dan sebagainya, termasuk juga database perusahaan-perusahaan
multinasional di Indonesia yang melakukan praktik transfer pricing.
Oleh karena itu,
hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan
Direktorat Jenderal Pajak untuk memitigasi dan meminimalkan risiko kehilangan
penerimaan negara akibat dari praktik abuse of transfer pricing adalah:
1. Memperkuat
sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing. Untuk itu
pelatihan-pelatihan tentang transfer pricing harus semakin diperbanyak dan
cakupan pegawai yang diberi pelatihan juga harus lebih banyak khususnya untuk
petugas pajak yang bertugas di KPP-KPP tempat terdaftarnya perusahaan
multinasional. Pelatihan ini tidak hanya diberikan kepada fungsional pemeriksa
pajak tetapi juga kepada Account Representative, Kepala Seksi, termasuk Kepala
Kantor Pelayanan Pajak.
2. Memperkuat
institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing. Saat ini, di DJP
hanya ada satu unit khusus yang menangani transfer pricing. Itu pun hanya
setingkat seksi, yaitu Seksi Transfer Pricing yang berada dibawah Direktorat
Pemeriksaan dan Penagihan, Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus. Menurut
penulis, hal tersebut belum mencukupi, mengingat jumlah potensi kehilangan
penerimaan pajak yang ada sangat besar (Rp1.300 triliun/tahun). Oleh karena
itu, setidaknya unit yang khusus mengurusi transfer pricing adalah setingkat Eselon
III, sehingga unit ini mempunyai resources yang lebih besar dan lebih kuat
termasuk dalam merumuskan aturan-aturan tentang transfer pricing yang sangat
dinamis sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
3. Meningkatkan
kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut.
Direktorat Jenderal Pajak harus meningkatkan ketersediaan database yang ada
selama ini baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu hal yang paling
penting adalah ketika database tersebut telah tersedia maka harus dapat diakses
dengan mudah oleh petugas pajak terutama oleh petugas pajak yang berada di KPP
-KPP tempat terdaftarnya perusahaan multinasional.
4. Menerapkan
Advance Pricing Agreement (APA ) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara lain.
Saat ini belum ada Wajib Pajak ataupun negara lain yang bersepakat dengan DJP
untuk menerapkan APA walaupun aturan perpajakan yang ada sudah memungkinkan
untuk itu (diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 69 Tahun 2010 tentang
Kesepakatan Harga Transfer/APA). Oleh karena itu, diharapkan DJP lebih
mensosialisasikan dan mengajak Wajib Pajak untuk menerapkan APA ini, karena
dengan penerapan APA kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang
merasa dirugikan.
5. Menerapkan
Mutual Agreement Procedure (MAP ) dengan negara lain dengan lebih intensif.
Saat ini belum ada satu negara pun yang sudah melakukan mutual agreement dengan
Indonesia, padahal dengan MAP diharapkan terjadi kesepakatan yang saling
menguntungkan
di antara kedua negara dan penerimaan pajak yang diperoleh oleh kedua negara
yang melakukan agreement menjadi lebih fair.
Dengan melakukan
hal-hal tersebut di atas, diharapkan potensi penerimaan Negara yang hilang
akibat praktik abuse of transfer pricing dapat diminimalisasi walaupun tidak
akan mungkin bisa hilang 100%.
KESIMPULAN
Transfer pricing adalah suatu
kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi baik itu
barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang dilakukan
oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu
intra-company dan inter-company transfer pricing. Transfer pricing merupakan
salah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan
multinasional karena perusahaan multinasional memiliki perusahaan asing yang
memungkinkan perusahaan melakukan transfer pricing.
Peraturan tentang transfer pricing
secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak
Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran
dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length
principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang
independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode
lainnya.
Kebijakan yang dilakukan oleh
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk memitigasi dan
meminimalkan risiko kehilangan penerimaan negara akibat dari praktik abuse of
transfer pricing adalah :
1.
Memperkuat sumber daya
manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing.
2.
Memperkuat institusi
yang khusus mengurusi tentang transfer pricing.
3.
Meningkatkan kualitas
dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut.
4.
Menerapkan Advance
Pricing Agreement (APA ) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara lain.
5.
Menerapkan Mutual
Agreement Procedure (MAP ) dengan negara lain dengan lebih intensif.
Referensi
Darussalam dan Danny Septriadi 2008. Konsep dan
Aplikasi Cross-Border
Untuk
Tujuan Perpajakan. Danny Darussalam Tax Center. Jakarta.
Gunadi 2014. Pajak Internasional. Jakarta.
Lorraine Eden 2001 , Transfer Pricing In
International Business, dalam ibid.
Mohammad Zain 1994, Manajemen Perpajakan
Hubert Haemakers 2008, Introduction
to Transfer Pricing, dalam Darussalam
dan Danny
Sepriadi,Konsep
Aplikasi Cross
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan
Keempat Atas Undang-Undang
Nomor
7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tanggal 11 November 2011
Tanggal 6 September 2010 tentang
Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib
Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa.
Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tanggal 11 November 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan
Direktur Jendral Pajak nomor PER-
43/PJ/2010 Tentang Penerapan
Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak dengan
Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Prianto Budi S. 2012. Transfer Pricing
Documentation. Dipresentasikan di Hotel VUE
PALACE Bandung tanggal 20 Februari
2012
Martasari,Z.2015.Pengaruh
Karakteristik Keuangan Dan Nonkeuangan Terhadap Transfer
Pricing
Pada Perusahaan Di Indonesia.Skripsi tidak
diterbitkan.Semarang:FEB.UNDIP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar