Sabtu, 16 Januari 2016

RESIKO PAJAK


Disusun Oleh :
DANANG PRIYAMBODO
B200120406 / B



Transfer Pricing
Gunadi (1994) mengemukakan bahwa Transfer pricing adalah penentuan harga atau imbalan sehubungan dengan penyerahan barang, jasa, atau pengalihan teknologi antar perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa dan suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba artifisial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara.
Mohammad Zain (1994) harga transfer merupakan harga yang diperhitungkan untuk mengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa antar-pusat pertanggungjawaban laba atau biaya, termasuk determinasi harga untukbarang, imbalan atas jasa, tingkat bunga pinjaman, beban atas persewaan dan metode pembayaran serta pengiriman uang. 

Transfer Pricing dan Risikonya Terhadap Penerimaan Negara
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan inter-company transfer pricing. Intra-company transfer pricing merupakan transfer pricing antardivisi dalam satu perusahaan. Sedangkan intercompany transfer pricing merupakan transfer pricing antara dua perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksinya sendiri bisa dilakukan dalam satu negara (domestic transfer pricing), maupun dengan negara yang berbeda (international transfer pricing). 
Transfer pricing merupakan salah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional karena perusahaan multinasional memiliki perusahaan asing yang memungkinkan perusahaan melakukan transfer pricing. Menurut Desriana (dalam Kiswanto dan Purwaningsih,2014) berdasarkan Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ./2010 yang diubah terakhir dengan PER-32/PJ./2011, mendefinisikan penentuan harga transfer (transfer pricing) yaitu “penentuan harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa”.
R. Feinschreiber, dalam Darussalam, dkk (2013) mengemukakan transfer pricing dalam perspektif perpajakan, adalah suatu kebijakan harga dalam transaksi yang dilakukan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Dalam praktek bisnis, transfer pricing sering dilakukan perusahaan multinasional yang berada satu grup dengan perusahaan tersebut. Perusahaan multinasional adalah perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara di bawah pengendalian satu pihak tertentu. Dimana Wajib Pajak menetapkan harga transfer ketika menjual, membeli, ataupun membagi sumber daya (berwujud maupun tidak berwujud) dengan afiliasinya (Arnold dan McIntyre, dalam Darussalam, dkk 2013).
Eden (2001) dalam Darussalam dan Sepriadi (2008) mengistilahkan transfer pricing manipulation dengan suatu kegiatan untuk memperbesar biaya atau merendahkan tagihan yang bertujuan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang. Manipulasi harga yang dapat dilakukan dengan transfer pricing antara lain manipulasi pada:
·         Harga penjualan
·         Harga pembelian
·         Alokasi biaya administrasi dan umum atau pun pada biaya overhead
·         Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham (shareholder loan)
·         Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik, dan imbalan atas jasa lainnya
·         Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham (pemilik) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
·         Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha (seperti: dummy company, letter box company atau reinvoicing center
Contoh sederhana dari abuse of transfer pricing adalah sebuah perusahaan—X Corp—berkedudukan di negara X memiliki anak perusahaan di Indonesia, yaitu PT LION, yang bergerak di bidang industri mainan. Untuk memproduksi mainan yang dijual di Indonesia, PT LION mengimpor bahan baku dari X Corp. Harga wajar bahan baku tersebut di pasar misal US$10/pcs. Tapi, dalam transaksi antara X Corp dengan PT LION, harga bahan baku yang sama dijual dengan harga US$30/pcs. Sehingga ada mark up sebesar US$20/pcs. Harga US$10/pcs ini tidak akan mungkin terjadi jika transaksi tersebut dilakukan dengan perusahaan yang bukan dalam satu grup atau tidak mempunyai hubungan istimewa. Sehingga tidak terjadi prinsip harga pasar wajar pada transaksi ini (arm’s length price principle).
Contoh lain yang umumnya sering digunakan dalam transfer pricing adalah misalkan X Corp tidak bertransaksi langsung dengan anak perusahaan di Indonesia, tetapi menjual dulu kepada anak perusahaan yang berkedudukan di Filipina. Lalu, dari Filipina barang tersebut dijual ke perusahaan yang ada di Malaysia, baru setelah itu perusahaan di Malaysia melakukan transaksi dengan perusahaan di Indonesia. Sehingga ketika sampai di Indonesia, harganya sudah naik berkali-kali lipat. Dengan begitu, jelas saja PT LION yang berkedudukan di Indonesia akan menderita kerugian karena ia harus membayar bahan baku dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga wajar. Sehingga potensi pajak yang seharusnya dibayarkan oleh PT LION ke negara menjadi hilang karena PT LION  mencatat kerugian atau keuntungannya mengecil karena praktik transfer pricing. 
Dari contoh-contoh sederhana di atas, terlihat bahwa abuse of transfer pricing hanya dapat dilakukan oleh perusahaan multinasional yang mempunyai anak-anak perusahaan di berbagai negara (international transfer pricing). Sedangkan domestic transfer pricing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap potensi penerimaan pajak pada negara tersebut karena pengurangan laba/penghasilan di satu perusahaan akan mengakibatkan penambahan laba/penghasilan di perusahaan lainnya sehingga hasilnya akan sama ke penerimaan pajak. Walaupun domestic transfer pricing masih dapat digunakan untuk mengalihkan laba dari suatu perusahaan ke perusahaan lain yang masih berhak menikmati kompensasi kerugian.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa abuse of transfer pricing sangat berpotensi menyebabkan risiko berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak. Rumor menyebutkan bahwa potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat praktik abuse of transfer pricing mencapai Rp1.300 triliun/tahun. Jumlah yang sangat mencengangkan karena jumlah tersebut mencapai sekitar 114% dari target penerimaan pajak tahun 2013. Pemerintah Indonesia sendiri mulai memperhatikan praktik transfer pricing pada tahun 1993, itu pun hanya diatur secara singkat melalui SE-04/PJ.7/1993 yang kemudian disusul dengan KMK-650/KMK.04/1994 tentang daftar tax haven countries. Setelah itu baru pada tahun 2009 (setelah 16 tahun), Indonesia lebih serius memperhatikan praktik transfer pricing melalui UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. 

Transfer Pricing dalam Peraturan Perpajakan Indonesia
Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya  Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Hubungan istimewa dikatakan terjadi jika (1) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung maupun tidak langsung paling rendah 25% pada Wajib Pajak lain; (2) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (3) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.
Aturan lebih lanjut dan detail tentang transfer pricing termuat dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 43 Tahun 2010 yang diubah dengan Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32 Tahun 2011. Di dalam aturan ini disebutkan pengertian arm’s length principle yaitu harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar, sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar.
Dalam Peraturan Dirjen Pajak ini juga diatur bahwa arm’s length principle dilakukan  dengan menggunakan langkah-langkah: (1) melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding; (2) menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; (3) menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa; dan (4) mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan Harga Wajar atau Laba Wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Aturan ini juga menyebutkan metode apa yang dapat digunakan untuk menentukan harga transfer yang wajar yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang melakukan transfer pricing, yaitu: 
a.       Metode perbandingan harga (Comparable Uncontrolled Price/CUP) Metode ini membandingkan harga transaksi dari pihak yang ada hubungan istimewa tersebut dengan harga transaksi barang sejenis dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa (pembanding independen), baik itu internal CUP maupun eksternal CUP. Metode ini sebenarnya merupakan metode yang paling akurat, tetapi yang sering menjadi permasalahan adalah mencari barang yang benar-benar sejenis.
Contoh penerapan:
PT LION menyerahkan penjualan barang X kepada afiliasinya PT Y dengan harga franko tujuan Rp10.000.000. Di saat yang sama PT LION juga menjual barang X kepada pihak ketiga PT KLM dengan harga franko pabrik Rp10.000.000 dan biaya pengangkutan dan asuransi Rp500.000. Dengan metode CUP harga jual wajar barang X dari PT ABC kepada PT Y adalah Rp10.000.000 + Rp500.000 = Rp10.500.000.
b.      Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method/RPM) Metode ini digunakan dalam hal Wajib Pajak bergerak dalam bidang usaha perdagangan, di mana produk yang telah dibeli dari pihak yang mempunyai hubungan istimewa dijual kembali (resale) kepada pihak lainnya (yang tidak mempunyai hubungan istimewa). Harga yang terjadi pada penjualan kembali tersebut dikurangi dengan laba kotor (mark up) wajar sehingga diperoleh harga beli wajar dari pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Contoh penerapan:
PT A menyerahkan barang kepada afiliasinya PT B dengan harga Rp10.000.000. PT B kemudian menyerahkan barang tersebut kepada pihak ketiga PT C (independen) dengan harga Rp20.000.000. Diketahui ternyata ada transaksi antara pihak independen, yaitu PT Z yang juga menyerahkan produk yang sejenis kepada PT Y dengan kenaikan harga jual (mark up) 20%. Dengan demikian, harga jual yang wajar dari PT A kepada PT B adalah Rp20.000.000 - (20% x Rp20.000.000) = Rp16.000.000. Jadi, harga jual PT A terlalu rendah dari yang seharusnya karena ada transfer pricing.
c.       Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method)
Metode ini dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa. Umumnya digunakan pada usaha pabrikasi. 
Contoh penerapan:
PT A memproduksi barang dengan biaya Rp500.000 dan menyerahkan barang tersebut kepada afiliasinya PT B dengan harga Rp900.000. PT Y juga memproduksi produk sejenis dengan biaya sebesar Rp600.000 dan menjualnya kepada PT Z (tidak ada hubungan istimewa) dengan harga Rp900.000.  Dari penjualan PT Y terlihat bahwa persentase laba kotor dari biaya adalah sebesar 30 : 60 = 50 %. Dengan cost-plus method, dapat diketahui bahwa harga wajar penjualan PT A ke PT B adalah: Rp500.000 + (50% x Rp500.000) = Rp750.000. Jadi, bisa dianggap bahwa harga beli PT B lebih mahal dari yang seharusnya dan dapat dikoreksi biayanya oleh kantor pajak.
d.      Metode Pembagian Laba (Profit Split Method/PSM)
Metode ini dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan dibagi oleh pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa tersebut dengan menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, dengan menggunakan Metode Kontribusi (Contribution Profit Split Method) atau Metode Sisa Pembagian Laba (Residual Profit Split Method).
e.       Metode Laba Bersih Transaksional (Transactional Net Margin Method/TNMM) Metode ini dilakukan dengan membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan, terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.

Rekomendasi Mitigasi Risiko
Aturan perpajakan di Indonesia sudah cukup komprehensif mengatur tentang praktik praktik transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Namun, di lapangan masih banyak terjadi praktik-praktik abuse of transfer pricing yang sangat merugikan bagi penerimaan pajak. Hal ini terutama disebabkan karena masih sangat kurangnya sumber daya manusia di lingkungan DJP yang mengerti tentang transfer pricing, padahal jumlah perusahaan multinasional yang beraktifitas di Indonesia semakin banyak dengan adanya globalisasi, semakin terbukanya perekonomian dunia serta menariknya pasar Indonesia di mata investor dunia.
Prinsip self assessment yang dianut oleh sistem perpajakan di Indonesia memungkinkan Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajaknya sendiri. Hal ini berarti Wajib Pajak lah yang pertama kali menentukan berapa pajak yang mereka setor kepada negara. Jumlah pembayaran pajak tersebut baru dapat berubah apabila DJP melakukan pemeriksaan atau penelitian atas jumlah pajak yang disetor. Tetapi jumlah pemeriksa pajak yang mengerti tentang transfer pricing di DJP masih sangat minim sehingga pengawasan/pemeriksaan yang dapat dilakukan terhadap perusahaan multinasional juga sangat terbatas. Selain itu, kualitas pemeriksaan yang dihasilkan juga cukup memprihatinkan. Akibatnya apabila Wajib Pajak melakukan banding atas jumlah ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh DJP ke Pengadilan Pajak, sebagian besar mengalami kekalahan karena fiskus tidak dapat mempertahankan argumennya atau argumennya kurang kuat dibandingkan argumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak atau konsultannya. Hal ini menyebabkan jumlah penerimaan negara kembali berkurang.
Hal lain yang menyebabkan DJP lemah dalam masalah transfer pricing adalah kurangnya database informasi yang dimiliki oleh DJP. Kalau pun databasenya tersedia tetapi sangat sedikit fiskus yang menguasai atau dapat mengakses database tersebut. Padahal untuk menggunakan metode-metode penerapan harga transfer sebagaimana diungkapkan di atas sangat dibutuhkan database yang lengkap tentang keadaan ekonomi, produk, industri, tingkat laba, perusahaan, royalti, lisensi, harga jasa-jasa, dan sebagainya, termasuk juga database perusahaan-perusahaan multinasional di Indonesia yang melakukan praktik transfer pricing.
Oleh karena itu, hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk memitigasi dan meminimalkan risiko kehilangan penerimaan negara akibat dari praktik abuse of transfer pricing adalah:
1.      Memperkuat sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing. Untuk itu pelatihan-pelatihan tentang transfer pricing harus semakin diperbanyak dan cakupan pegawai yang diberi pelatihan juga harus lebih banyak khususnya untuk petugas pajak yang bertugas di KPP-KPP tempat terdaftarnya perusahaan multinasional. Pelatihan ini tidak hanya diberikan kepada fungsional pemeriksa pajak tetapi juga kepada Account Representative, Kepala Seksi, termasuk Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
2.      Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing. Saat ini, di DJP hanya ada satu unit khusus yang menangani transfer pricing. Itu pun hanya setingkat seksi, yaitu Seksi Transfer Pricing yang berada dibawah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Subdirektorat Pemeriksaan Transaksi Khusus. Menurut penulis, hal tersebut belum mencukupi, mengingat jumlah potensi kehilangan penerimaan pajak yang ada sangat besar (Rp1.300 triliun/tahun). Oleh karena itu, setidaknya unit yang khusus mengurusi transfer pricing adalah setingkat Eselon III, sehingga unit ini mempunyai resources yang lebih besar dan lebih kuat termasuk dalam merumuskan aturan-aturan tentang transfer pricing yang sangat dinamis sesuai dengan perkembangan zaman saat ini.
3.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut. Direktorat Jenderal Pajak harus meningkatkan ketersediaan database yang ada selama ini baik dari kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu hal yang paling penting adalah ketika database tersebut telah tersedia maka harus dapat diakses dengan mudah oleh petugas pajak terutama oleh petugas pajak yang berada di KPP -KPP tempat terdaftarnya perusahaan multinasional.
4.      Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA ) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara lain. Saat ini belum ada Wajib Pajak ataupun negara lain yang bersepakat dengan DJP untuk menerapkan APA walaupun aturan perpajakan yang ada sudah memungkinkan untuk itu (diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor 69 Tahun 2010 tentang Kesepakatan Harga Transfer/APA). Oleh karena itu, diharapkan DJP lebih mensosialisasikan dan mengajak Wajib Pajak untuk menerapkan APA ini, karena dengan penerapan APA kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang merasa dirugikan.
5.      Menerapkan Mutual Agreement Procedure (MAP ) dengan negara lain dengan lebih intensif. Saat ini belum ada satu negara pun yang sudah melakukan mutual agreement dengan Indonesia, padahal dengan MAP diharapkan terjadi kesepakatan yang saling
menguntungkan di antara kedua negara dan penerimaan pajak yang diperoleh oleh kedua negara yang melakukan agreement menjadi lebih fair.
Dengan melakukan hal-hal tersebut di atas, diharapkan potensi penerimaan Negara yang hilang akibat praktik abuse of transfer pricing dapat diminimalisasi walaupun tidak akan mungkin bisa hilang 100%.


KESIMPULAN
Transfer pricing adalah suatu kebijakan perusahaan dalam menentukan harga transfer suatu transaksi baik itu barang, jasa, harta tak berwujud, atau pun transaksi finansial yang dilakukan oleh perusahaan. Terdapat dua kelompok transaksi dalam transfer pricing, yaitu intra-company dan inter-company transfer pricing. Transfer pricing merupakan salah satu bentuk penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional karena perusahaan multinasional memiliki perusahaan asing yang memungkinkan perusahaan melakukan transfer pricing.
Peraturan tentang transfer pricing secara umum diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Pasal 18 ayat (3) UU PPh menyebutkan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berwenang untuk menentukan kembali besarnya  Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (arm’s length principle) dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Kebijakan yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak untuk memitigasi dan meminimalkan risiko kehilangan penerimaan negara akibat dari praktik abuse of transfer pricing adalah :
1.      Memperkuat sumber daya manusia yang ahli dalam bidang transfer pricing.
2.      Memperkuat institusi yang khusus mengurusi tentang transfer pricing.
3.      Meningkatkan kualitas dan kuantitas database serta accessibility terhadap database tersebut.
4.      Menerapkan Advance Pricing Agreement (APA ) dengan Wajib Pajak maupun dengan negara lain.
5.      Menerapkan Mutual Agreement Procedure (MAP ) dengan negara lain dengan lebih intensif.


Referensi
Darussalam dan Danny Septriadi 2008. Konsep dan Aplikasi Cross-Border
            Untuk Tujuan Perpajakan. Danny Darussalam Tax Center. Jakarta.
Gunadi 2014. Pajak Internasional. Jakarta.
Lorraine Eden 2001 , Transfer Pricing In International Business, dalam ibid.
Mohammad Zain 1994, Manajemen Perpajakan
Hubert Haemakers 2008, Introduction to Transfer Pricing, dalam Darussalam  dan Danny
Sepriadi,Konsep Aplikasi Cross
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang
            Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tanggal 11 November 2011
Tanggal 6 September 2010 tentang Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara Wajib Pajak Dengan Pihak Yang Mempunyai                         Hubungan Istimewa.
Peraturan Direktorat Jendral Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tanggal 11 November 2011
tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jendral Pajak nomor PER-
43/PJ/2010 Tentang Penerapan Prinsip Kewajaran Dan Kelaziman Usaha Dalam
Transaksi Antara Wajib Pajak dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
Prianto Budi S. 2012. Transfer Pricing Documentation. Dipresentasikan di Hotel VUE
PALACE Bandung tanggal 20 Februari 2012
Martasari,Z.2015.Pengaruh Karakteristik Keuangan Dan Nonkeuangan Terhadap Transfer
Pricing Pada Perusahaan Di Indonesia.Skripsi tidak diterbitkan.Semarang:FEB.UNDIP



Tidak ada komentar:

Posting Komentar