Transfer Pricing Sebagai Salah Satu
Strategi Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional
Disusun Oleh :
Ricky Aditya
Angga Kuswara
B 200 120 087 / B
v
LATAR BELAKANG MASALAH
Perencanaan
pajak merupakan sarana yang memungkinkan untuk merencanakan pajak-pajak yang
akan dibayarkan agar tidak terjadi kelebihan dalam membayar pajak. Perencanaan
pajak tidak berarti sebagai upaya menghindari pajak karena bila demikian jelas
bertentangan dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak
sendiri sebagai bagian terdepan dari manajemen pajak. Manajemen pajak dapat
didefinisikan sebagai pengelolaan perusahaan agar kewajiban pemenuhan kewajiban
perpajakannya dapat dilakukan dengan baik dan benar, dengan jumlah pajak yang
dapat ditekan serendah mungkin untuk mendapatkan laba yang diharapkan tanpa
unsur pelanggaran yang dikemudian hari dapat mengakibatkan adanya sanksi atau
denda. Dengan demikian tujuan manajemen pajak adalah melakukan usaha efisiensi
pajak untuk mencapai laba yang rasional dan melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya
secara benar.
Hubungan
perdagangan internasional yang semakin terbuka luas dan semakin ekstensif saat
ini, menyebabkan pula semakin diperlukannya suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang mengatur masalah transaksi internasional.
Bersamaan dengan peningkatan beberapa tarif pajak di beberapa negara, terdapat
pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional (international
tax avoidance) yang antara lain terdapatnya beberapa daerah di dunia ini
yang disebut sebagai surga persinggahan pajak (tax havens) yang
menampung dana yang yang bergerak secara internasional, selain itu karena
perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip apa
yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat
saja perusahaan multinasional tersebut menggunakan harga yang menyimpang dan
harga yang berlaku umum.
Transfer
Pricing merupakan isu pada bidang perpajakan, khususnya bagi korporasi
multinasional yang melakukan transaksi internasional. Dari sisi pemerintahan,
Transfer pricing dapat mengakibatkan potensi penerimaan pajak suatu negara akan
berkurang karena perusahaan multinasional menggeser kewajiban perpajakannya
dari negara yang tarifnya lebih tinggi yang nantinya menuju negara yang
bertarif pajak rendah. Perusahaan juga berupaya meminimalisasi biaya termasuk
meminimalisasi pembayaran pajak perusahaan jika dilihat dari sisi bisnis.
Transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk
memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas, bagi
perusahaan multinasional yang berskala global.
v LANDASAN TEORI
·
Teori Keagenan
Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan teori keagenan
yang menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan (agen) dan pemegang saham
(prinsipal). Dalam hubungan keagenan (agency relationship) terdapat suatu
kontrak satu orang atau lebih (prinsipal) yeng memerintahkan orang lain (agen)
untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal dan memberi wewenang kepada agen
untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Pihak prinsipal juga dapat
membatasi divergensi kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang
layak kepada agen dan bersedia mengeluarkan biaya pengawasan (monitoring cost)
untuk mencegah hazard dari agen. Namun, sebaliknya teori keagenan juga dapat
mengimplikasikan adanya asimetri informasi. Konflik antar kelompok atau agency
conflict merupakan konflik yang timbul antara pemilik, dan manajer perusahaan
dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada
tujuan perusahaan perusahaan. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya
masalah keagenan (Colgan, 2001), yaitu:
1. Moral Hazard
Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang
tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya
diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat melakukan
tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan
sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.
2. Penahanan Laba (Earnings Retention)
Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang
berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan pertumbuhan
dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau penghargaan bagi
dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham.
3. Horison Waktu
Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan mana
prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum
pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan mereka.
4. Penghindaran Risiko Manajerial
Masalah ini muncul ketika ada batasan di versifikasi portofolio yang
berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga
manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan
investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan
pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang karena mengalami
kebangkrutan atau kegagalannya.
Dapat
disimpulkan bahwa timbulnya masalah-masalah keagenan terjadi karena terdapat
pihak-pihak yang memiliki perbedaan kepentingan namun saling bekerja sama dalam
pembagian tugas yang berbeda. Konflik keagenan dapat merugikan pihak prinsipal
(pemilik) karena pemilik tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan
sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi yang memadai. Selain
itu, manajemen selaku agen diberikan wewenang untuk mengelola aktiva perusahaan
sehingga mempunyai insentif melakukan transfer pricing dengan tujuan untuk menurunkan pajak yang
harus dibayar
·
Afiliasi
Afiliasi adalah bentuk suatu hubungan antara dua atau
lebih perseroan yang didasarkan pada kepemilikan saham. Hubungan yang dimaksud
adalah hubungan kepemilikan saham voting (voting stock) dan
perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan ini dinamakan perusahaan
berafiliasi. Perseroan yang menguasai mayoritas saham voting berhak melakukan
kontrol terhadap perseroan lainnya dan dikenal dengan sebutan perusahaan induk,
sedangkan perusahaan yang dikontrol atau yang memiliki sebagian kecil saham
voting disebut dengan perusahaan anak (Judisseno, 2005:185).
Suatu transfer pricing, sedikitnya melibatkan dua
pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak yang melakukan transfer atau
transferor dan pihak yang menerima transfer atau transferee, artikel 9 ayat 1
dari OECD model tax convention menyebutkan bahwa hubungan istimewa dapat
diuji melalui test partisipasi manajemen, penguasaan kendali dan modal
perusahaan (OECD 2000):
Where (a) An enterprise of a Contracting
State participates directly or indirectly in the management, control or capital
of an enterprise of the other Contracting State, or (b) The same persons
participate directly or indirectly in the management, control or capital of an
enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State.
Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 7) adalah sebagai berikut:
(a)
Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara
(intermedia ries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian
bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies,
subsidiaries, dan fellow subsidiaries); (b) perusahaan asosiasi
(associated company); (c) perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun
tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang
berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan
tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang
dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam
transaksinya dengan perusahaan pelapor); (d) karyawan kunci, yaitu orang-orang
yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan
mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan
komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat
orang-orang tersebut; (e) perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam
hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang
yang diuraikan dalam (c) atau; (d) setiap orang tersebut mempunyai pengaruh
signifikan atas perusahaan tersebut, ini mencakup perusahaan-perusahaan yang
dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari
perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen
kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
Pengertian hubungan istimewa menurut Undang-undang
Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) adalah:
“Hubungan istimewa dianggap ada apabila: (a) Wajib
Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak
dengan penyertaan paling rendah 25% (dua
puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau (b) Wajib Pajak
menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada dibawah
penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) terdapat
hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan
atau ke samping satu derajat”.
·
Kewajaran (Arm’s Length Principle)
Prinsip kewajaran berarti mengacu kepada sesuatu yang
dianggap wajar. Masalah yang timbul adalah acuan yang digunakan apakah dapat
dikatakan sebanding atau comparable. Dalam artikel 9:1 dari OECD model
tax convention disebutkan juga bahwa (OECD:2000): “…and in either case
conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial
or financial relations which differ from those which would be made between
independent enterprises, then any profits which would, but for those
conditions, have not so accrued to one of the enterprises, but, by the reason
of those conditions, have not so accrued may be included in the profits of that
enterprise and taxed accordingly”
Menyangkut masalah kewajaran, PSAK No.17 menyebutkan
bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan
pada suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku
antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran
antara pihak yang independen (arm’s length price). Pihak yang mempunyai
hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses
penentuan harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh menyebutkan hal-hal
sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali
besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk
menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai
hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan
kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”.
Menurut arm’s length principle, harga-harga
transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati
sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait
yang bertindak secara bebas. Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi
antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi
tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga
ketidaksesuaian dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas
fiskal.
·
Pajak
Menurut UU Perpajakan (UU No. 36 Tahun
2008), yang dimaksud dengan pajak adalah:
“Kontribusi wajib kepada negara yang
terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Primandita,
2011:4).
Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani yang telah
diterjemahkan oleh Brotodiharjo dalam buku pengantar Ilmu Hukum Pajak (2003:2).
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat
prestasi- kebali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang
menyelenggarakan pemerintahan”.
Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) serta tidak mendapat jasa timbal
balik (kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum (Mardiasmo,2006).
Judisseno (2005:5), mendefinisikan pajak sebagai suatu
keajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota
masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan
nasional yang pelaksanaannya di atur dalam undang-undang dan
peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.
Rochmat Soemitro menyebutkan bahwa pajak adalah iuran
kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak
mendapat jasa timbal, yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk
membayar pengeluaran umum (Agoes, 2013:6).
Prof. Dr. M. J. H. Smeets dalam bukunya De
Economische Betekenis der Belastingen, 1951, mendefinisikan pajak sebagai
berikut:
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang
melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya
kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya
adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah” (Suandy, 2011:9).
·
Pajak Penghasilan
Mengacu pada Undang-undang No.36 Tahun 2008 pajak
penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik penghasilan
yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perorangan maupun badan yang
berbeda didalam Negeri dan/atau diluar Negeri yang terutang selama tahun pajak.
·
Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Menurut Suandy (2008:6) Perencanaan pajak adalah
langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan
penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan
pajak yang akan dilakukan.
Zain (2008:67) mengungkapkan bahwa perencanaan pajak
merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi
pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada
konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat
mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah melalui apa yang
disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan
penyelundupan pajak (tax evasion).
Ompusunggu (2011:3) menyatakan Tax Planning
adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak untuk menyusun aktivitas
keuangan guna mendapat pengeluaran (beban) pajak yang minimal. Secara teoritis,
Tax Planning dukenal sebagai effective tax planning, yaitu seorang Wajib
Pajak berusaha mendapat penghematan pajak melalui prosedur penghindaran pajak
secara sistematis sesuai ketentuan UU perpajakan.
Tax planning sebagai bagian dari kegiatan manajemen
memiliki beberapa manfaat yang berguna bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan
usaha dalam pencapaian laba maksimum. Ada 4 hal penting yang dapat diambil dari
keuntungan dari pelaksanaan Tax planning yaitu:
1. Penghematan kas keluar, pajak dianggap
sebagai bagian unsur biaya yang dapat diefisienkan. Penghematan kas untuk
pembayaran biaya-biaya yang ada di perusahaan, termasuk biaya pajak harus
dipertimbangkan sebagai faktor akan mengurangi laba, dengan membayar pajak
seefisien mungkin perusahaan dapat bertindak sebagai Wajib Pajak yang taat
sekaligus tidak mengganggu cash flow dari perusahaan.
2. Mengatur aliran kas, karena dengan tax
planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat menyusun anggaran
kas secara lebih akurat, mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak. Hal ini
akan menolong perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan operasional perusahaan
berdasarkan anggaran yang telah disusun pada periode sebelumnya.
3. Menentukan waktu pembayaran, sehingga tidak
terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan denda atau sanksi. Kewajiban
perpajakan dapat dilaksanakan secara on time, artinya perusahaan telah
melakukan penghematan atas sanksi atau denda yang terjadi bila terjadi
keterlambatan dan atau kesalahan atas kewajiban perpajakan perusahaan.
4. Membuat data-data terbaru untuk mengupdate
peraturan perpajakan. Tindakan ini berguna untuk menyikapi peraturan
perpajakan yang berubah setiap waktu, sehingga perusahaan tetap mengetahui
kewajiban-kewajiban dan hak-hak perusahaan sebagai Wajib Pajak.
Jenis-jenis Perencanaan Pajak (Suandy:2011) dibagi
menjadi 2 (dua) yaitu:
1.
Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning)
yaitu perencanaan yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam
perencanaan pajak nasional pemilihan atas dilaksanakannya atau tidak suatu
transaksi hanya bergantung terhadap transaksi tersebut. Artinya untuk menghindari/mengurangi
pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan
sesuai dengan hukum pajak yang ada, misalnya akan terkena tarif khusus final
atau tidak.
2.
Perencanaan Pajak Internasional (International Tax
Planning) yaitu perencanaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang
domestik dan juga harus memperhatikan perjanjian pajak (tax treaty) dan
undang-undang dari negara-negara yang terlibat. Dalam perencanaan pajak
internasional yang dipilih adalah negara (yuridiksi) mana yang akan digunakan
untuk suatu transaksi.
·
Transfer Pricing
Harga transfer atau transfer pricing dalam bahasa
inggris berasal dari kata transfer price sering diartikan sebagai nilai yang
melekat pada pengalihan barang dan jasa yang terjadi pada suatu transaksi
antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Menurut Horngren (2008: 375),
yang dimaksud dengan transfer pricing adalah harga yang dibebankan satu subunit
(departemen atau divisi) untuk suatu produk atau jasa yang dipasok ke subunit
yang lain di organisasi yang sama.
Transfer Pricing adalah harga transfer dari
barang/jasa atau aktiva tak berwujud (intangible property) yang ditransfer
antar perusahaan afiliasi dalam satu grup perusahaan atau antar divisi dalam
satu perusahaan. Semula transfer pricing digunakan untuk kepentingan penilaian
tingkat kemampuan laba masing-masing divisi atau masing-masing perusahaan
afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tetapi sejalan dengan makin
besarnya perusahaan multinasional, perbedaan tarif pajak antar negara dan
perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer pricing digunakan
sebagai alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu negara ke negara
yang tarif pajaknya lebih rendah atau dari perusahaan yang berada dalam posisi
laba ke perusahaan afiliasi yang masih mengalami kerugian.
Dari sudut pandang ekonomi, menurut Hirshleifer yang
diambil oleh santoso (2004): transfer price should be the marginal cost of
the selling division in order to maximize the firm’s profit as a whole.
Olek karenanya, prinsip dasar harga transfer adalah untuk memaksimalkan laba.
Sehingga perusahaan harus secara berkala menjual produk sampai dengan titik
dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan dijual,
yang disebut marginal cost produksi unit yang diproduksi dan dijual,
lebih rendah dibanding penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit tersebut (marginal
revenue). Dalam hal penentuan harga untuk perusahaan yang terintegrasi,
harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.
Sedangkan menurut Gunadi, pengamat pajak UI, transfer
pricing adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud
mengurangi laba afiliasial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari
pajak atau bea di suatu negara (Suandy, 2011:71).
v
PEMBAHASAN
·
Perencanaan Pajak pada Perusahaan Multinasional
Dalam melakukan perencanaan pajak perusahaan
multinasional memiliki keunggulan tertentu atas perusahaan yang murni domestik
karena memiliki fleksibilitas goegrafis lebih besar dalam menentukan lokasi
produksi dan sistem distribusi. Fleksibilitas ini memberikan peluang tersendiri
untuk memanfaatkan perbedaan antar yurisdiksi pajak nasional sehingga dapat
menurunkan beban pajak perusahaan secara keseluruhan. Pergeseran beban dan
pendapatan melalui ikatan-ikatan dalam perusahaan juga memberikan peluang tambahan
bagi perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak global yang dibayarkan.
Sebagai respons atas hal ini, pemerintahan nasional senantiasa merancangkan
aturan hukum untuk meminimalkan kesempatan melakukan arbitrase yang melibatkan
beberapa yurisdiksi pajak nasional yang berbeda. Pengamatan atas masalah
perencanaan pajak ini dimulai dengan dua dua hal dasar : 1. Pertimbangan pajak
seharusnya tidak pernah mengendalikan strategi usaha; 2. Perubahan hukum pajak
secara konstan membatasi manfaat perencanaan pajak dalam jangka panjang.
Dalam penelitian Permatasari (2004) menjelaskan bahwa
perencanaan pajak untuk suatu operasi yang bersifat multinasional merupakan
pekerjaan yang kompleks, tetapi di lain pihak mengandung aspek yang vital bagi
bisnis internasional. Pajak berdampak terhadap keputusan penanaman modal di
luar negeri, struktur keuangan, ketetapan besarnya biaya modal, manajemen
valuta asing, manajemen modal kerja dan pengendalian keuangan.
Dalam rangka mengevaluasi kebijakan perdagangan dan
efektivitas lalu lintas modal internasional, adalah kurang efisien apabila
hanya difokuskan secara sempit pada tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak
saja, sebab faktor pajak pun tidak sedikit perannya dalam evaluasi kebijakan
yang dimaksud. Kebijakan perpajakan kadang-kadang sangat berperan dalam
pengambilan keputusan mengenai penanaman dan pembiayaan perusahaan yang akan
melakukan investasi diluar negeri. Sedangkan perusahaan multinasional untuk
operasionalnya diluar negeri, kadang-kadang harus mendirikan beberapa negara
yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan nasional.
Sebagian besar transaksi yang terjadi antar anggota
grup perusahaan multinasional tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa
transaksi, seperti penjualan barang dan jasa, lisensi, paten, penjamin utang
dan seterusnya. Harga-harga yang di bebankan pada transaksi tersebut, tidaklah
perlu sama dengan harga yang berlaku di pasaran bebas. Oleh karena perusahaan
multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip apa yang akan
digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja
perusahaan multinasional tersebut menggunakan harga yang menyimpang dari harga
yang berlaku umum. Penyimpangan harga yang dimaksud adalah dari harga yang
disebut sebagai arm’s length price yang lazimnya berlaku dan disetujui
oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan
dalam kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai
hubungan istimewa.
Perusahaan multinasional tersebut dapat saja
menggunakan transfer pricing yang lebih rendah dari arm’s length price
untuk tujuan mengefisienkan beban pajaknya atau menggunakan harga yang lebih
tinggi dari arm’s length price untuk tujuan tertentu. Apabila terjadi
transaksi yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga lebih tinggi
atau rendah, hal ini dianggap sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan
dari satu grup ke grup lainnya dan hal ini berarti pula bahwa pajak yang
terutang di kedua grup yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.
Dilihat dari segi kepentingan perusahaan
multinasional, dalam rangka mengorganisir transaksi antar unit dalam grupnya,
memang masalah transfer pricing merupakan masalah yang harus dipertimbangkan,
dengan catatan bahwa penyesuaian harga sebenarnya dengan harga pasaran bebas
dalam rangka menentukan penghasilan kena pajak yang wajar tidak perlu
memperhatikan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang ada yang harus
dipenuhi oleh negara yang bersangkutan untuk memenuhi harga-harga atau
maksud-maksud tertentu dari negara yang bersangkutan untuk memperkecil jumlah
pajak yang terutang.
Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh
perusahaan multinasional dalam perencanaan pajaknya yang berbeda dengan
yuridiksi pajaknya. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah
perusahaan multinasional memecah-mecah penghasilan dan biaya yang dialokasikan
di berbagai yuridiksi untuk menghindari adanya pajak berganda. Penghindaran
pajak berganda dapat dihindari dengan cara sebagai berikut:
1. Penghasilan yang dikenakan sebaiknya hanya
satu negara saja.
2. Perhitungan untuk kredit pajak dapat
dilakukan dengan pajak yang terutang.
Pajak
berganda dapat dikurangi dengan banyak berbagai cara melalui kredit pajak (tax
kredit), perjanjian perpajakan (tax treaties), surga pajak (tax
havens), pengecualian pajak (tax exemption) dan prinsip penangguhan (the
defferal principle). Dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kredit Pajak, Wajib Pajak yang dapat
mengurangi jumlah pajak terutangnya yang di luar Negeri dari jumlah pajak yang
berdasarkan penghitungan peraturan pajak domestik. Pengurangan yang sifatnya
langsung dari jumlah pajak terutang, sehingga mengurangi pajak berganda.
2. Perjanjian Perpajakan, mengatur tentang
penghasilan dari antar negara yang dikenakan pajak atau tidak dikenakan pajak
oleh otoritas negara dari penghasilan yang diperoleh atau tidak diperoleh.
3. Surga Pajak, suatu negara yang
penghasilannya rendah atau tidak ada pengenaan pajak atas penghasilan yang
diperoleh. Kebanyakan perusahaan multinasional yang mempunyai investasi atau
transfer penghasilan yang rendah menggunakan negara tax havens untuk
menggeser penghasilannya dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara tax
havens melalui transfer pricing.
4. Pengecualian Pajak, perusahaan tertentu
yang tidak perlu membayar pajak penghasilan dari penghasilan yang diperoleh.
5. Prinsip Penangguhan, penundaan pajak
penghasilan bagi perusahaan induk yang mempunyai penghasilan di luar negeri,
sampai perusahaan induk tersebut diterima.
Permasalahan
yang perlu diantisipasi bukan hanya pajak berganda, tetapi juga pajak
internasional yang perlu diperhatikan karena berdampak pada keputusan
manajemen, dimana investasi yang dilakukan, produk yang dipasarkan, bentuk
usaha yang baik untuk komersial dan fiskal, lintas valas yang ketat atau
pengembalian hasil keuntungan setelah pajak, cara pembiayaannya, termasuk
masalah tentang transfer pricing.
Sebenarnya
Direktorat Jenderal Pajak sangat menyadari praktik penghindaran pajak dengan
melakukan manipulasi Transfer Pricing. Disebut menghindari pajak (tax
avoidance), karena penghindaran tersebut masih dilakukan dalam koridor
peraturan pajak yang berlaku. Praktik ini terutama dilakukan oleh perusahaan
multinasional. Tujuan utama dari manipulasi Transfer Pricing tentu saja adalah pergeseran
penghasilan kena pajak.
Menurut
hasil riset dari Her Majesty Revenue Center (HMRC), Inggris dan Internal
Revenues Service (IRS), USA, beberapa indikator dari manipulasi Transfer
Pricing adalah sebagai berikut :
1. SPT Tahunan Badan melaporkan rugi dalam
beberapa tahun berturut-turut.
2. Peredaran usaha tinggi tapi laba diperoleh
kecil.
3. Transaksi hubungan istimewa atau transaksi
antar afisiliasi yang cukup besar.
4. Tingkat kemampuan laba buruk dibandingkan
dengan perusahaan sejenis.
5. Rugi yang tidak dapat dijelaskan.
6. Memiliki perusahaan afiliasi di Negara Tax
haven.
Dari tahun
pajak 2001 sampai dengan tahun pajak 2006, kerugian akumulatif Perusahaan
multinasional mencapai lebih dari Rp 52,57 Triliun. Ini berarti potensi
kerugian pajak sebesar hampir Rp 12,77 Triliun atau 2,62 Triliun per tahun.
·
Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional
Ada dua tujuan transfer prricing yang ingin
dicapai oleh perusahaan multinasional yaitu (Yenni, 2000): (1). Performance
Evaluation salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam
menilai kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau Return On
Investment.
Terkadang tingkat ROI untuk satu devisi
dengan devisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang
lain. Misalnya, divisi penjualan menginginkan harga transfer yang lebih tinggi
yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis akan meningkatkan
ROI-nya, di sisi lain, divisi pembelian menuntut harga transfer yang rendah
yang nantinya akan berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga
meningkatkan ROI. Hal ini yang membuat harga transfer berada di posisi
terjepit. Oleh karena itu induk perusahaan sangat berperan dalam penentuan
harga transfer; (2). Optimal Determination of Taxes tarif pajak antar
satu negara dengan negara yang lain berbeda.
Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan
ekonomi, sosial, politik dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut. Apabila
di sebuah negara mengalami tingkat investasi rendah, maka tarif pajak berlaku
di negara tersebut juga rendah. Tetapi jika sebuah negara mengalami tingkat
investasi yang tinggi, yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan badan usaha
yang semakin meningkat. Dasar inilah tarif pajak yang ditetapkan di negara yang
bersangkutan tinggi.
Suatu survey yang dilakukan oleh Ernest
& Young LLp (2008), menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan
masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang
terjadi pada perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak
kantor akuntan publik melakukan audit compliance, untuk melakukan pemeriksaan
atas masalah transfer pricing yang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus
dibayarkan.
Undang-Undang Mengenai Transfer Pricing
Penentuan harga transfer (transfer pricing)
menyentuh aspek perpajakan sehingga yang disajikan adalah peraturan-peraturan
perpajakan yang terkait dengan perpajakan internasional seperti halnya dalam
pengertian pajak menurut Ketentuan Umum & Tata Cara Perpajakan. Selain itu,
buku-buku perpajakan dan jurnal-jurnal perpajakan yang memuat kajian dan ulasan
tentang perpajakan khususnya perpajakan internasional atau manajemen
perpajakan.
Peraturan-peraturan perpajakan yang terkait
dengan perpajakan internasional meliputi:
1. Ketentuan Pasal 32A Undang-undang Nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
2. Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 7
tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009, diatur bahwa adanya
suatu transaksi yang dikategorikan sebagai transaksi hubungan istimewa.
3. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra diatur
mengenai Associated Enterprises (hubungan istimewa).
4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-32/PJ/2011 tentang perubahan atas peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
PER-43/PJ/2010 tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam
transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Hal penting dalam masalah Transfer Pricing
Ø Hubungan Istimewa
Fokus dalam
masalah transfer pricing tentu saja transaksi afiliasi atau transaksi yang
dilakukan antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. DJP telah menggariskan
ketentuan mengenai hubungan istimewa ini dalam pasal 18 UU PPh yaitu sebagai
berikut:
Hubungan
istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), pasal 9
ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:
a. Wajib Pajak mempunyai pnyertaan modal
langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah
25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di
antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainya
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung; atau
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat.
Ø Perbandingan
Sebenarnya,
sepanjang harga transfer dilakukan dengan harga wajar (Arm’s Length Price),
yaitu harga yang ditetapkan seandainya pihak-pihak yang bertransaksi tidak
berafiliasi atau tidak memiliki hubungan istimewa, maka tidak ada masalah
dengan transfer pricing ini. Karena itu DJP mensyaratkan Wajib Pajak yang
memiliki transaksi afiliasi untuk mengisi lampiran khusus pernyataan transaksi
hubungan istimewa. Dalam lampiran tersebut, Wajib Pajak harus mengisi jenis
transaksi (penjualan/pembelian/jasa), jumlah nominal transaksi afiliasi dan
metode harga transfer yang digunakan untuk setiap jenis transaksi.
Wajib Pajak
harus dapat menyampaikan bukti bahwa harga transfer yang digunakan dalam
transaksi afiliasi adalah harga wajar, yaitu dengan cara melakukan
perbandingan. Sesuatu yang dapat diperbandingkan adalah sebagai berikut.
1. Apabila terdapat perbedaan, maka perbedaan
ini tidak akan mempengaruhi kondisi yang diperbandingkan (misalnya harga, laba
kotor, dll).
2. Penyesuaian perbandingan dapat dilakukan
untuk menghilangkan beberapa perbedaan dalam proses perbandingan.
3. Kondisi yang dapat diperbandingkan bukan
berati bahwa kondisi tersebut identik, tetapi perbandingan tersebut haruslah
dapat diandalkan dan masuk akal.
Sedangkan menurut
paragraf 1.19-1.35 OECD Guidelines, faktor yang menentukan keterbandingan
adalah sebagai berikut.
1. Karakteristik dari barang/jasa/aktiva tak
berwujud.
2. Analisis fungsional yaitu analisis fungsi
(apakah perusahaan memiliki fungsi yang sama seperti fungsi pabrikasi,
distribusi, marketing, riset, dll), analisis resiko (resiko bisnis, resiko
pasar, resiko pabrikasi, resiko selisih kurs, resiko persediaan, resiko kredit,
dll) dan analisis aset (besaran aset yang digunakan seperti pabrik dan
peralatan, kepemilikan aktiva tak berwujud, dll)
3. Syarat/kontrak transaksi.
4. Keadaan ekonomi.
5. Strategi bisnis.
Selain
kelima faktor penentu keterbandingan di atas, terdapat beberapa faktor yang
dapat dipertimbngkan juga seperti kebijakan pemerintah, penilaian bea cukai, dll.
Data yang
digunakan untuk melakukan perbandingan sebaiknya berasal dari beberapa tahun
misalnya data tahun 2006 sampai dengan 2008. Lebih baik lagi apabila data
berasal dari data perusahaan publik yang dapat diakses oleh setiap orang,
sehingga tidak ada pelanggaran atas rahasia jabatan.
Perbandingan dapat dilakukan dengan dua
cara yaitu:
1. Perbandingan internal:
Membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan
oleh perusahaan yang sama. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A
dibandingkan dengan harga jual barang X ke perusahaan pihak ketiga
2. Perbandingan eksternal:
Membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan
oleh perusahaan berbeda. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A
dibandingkan dengan harga jual PT B atas barang X ke perusahaan pihak ketiga.
Hasil
perbandingan akan menghasilkan apa yang disebut Arm’s Length Range (ALR), yaitu
kumpulan dari harga wajar dari perusahaan –perusahaan sejenis yang
dibandingkan, mulai dari tertinggi sampai yang paling rendah. Koreksi atas
ketidakwajaran harga transfer dapat dilakukan berdasarkan pada ALR ini, yaitu
dengan mengambil titik terendah dari
ALR, titik tertinggi, rata-rata, atau titik tengah dari ALR. Tetapi, jangan
lupa, penentuan titik mana dalam ALR yang akan digunakan sebagai dasar koreksi
transfer pricing, haruslah sudah ditentukan oleh peraturan perundangan.
Ø Pemilihan Metode Harga Transfer
Setelah
melakukan perbandingan, maka tahap berikutnya adalah memilih metode transfer
pricing yang paling cocok untuk setiap transaksi afiliasi perusahaan, yaitu
sbb:
1. Metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) yaitu metode harga sebanding, yaitu bila
terdapat harga pembanding untuk barang/jasa sejenis. Fokus adalah pada
produk/jasa.
2. Metode Cost Plus (CPM) yaitu membandingkan margin kotor dari harga pokok (cost
plus). Bila tidak memiliki harga pembanding baik internal maupun eksternal,
maka dapat menggunakan metode perbandingan margin kotor, bagi perusahaan dengan
memiliki fungsi sama. Misalnya margin kotor antar perusahaan manufaktur.
3. Metode Resale Price (RPM) yaitu membandingkan gross margin
profit dari harga jual. Cocok digunakan perusahaan distributor.
4. Metode Transactional Net Margin (TNMM) yaitu bila tidak tersedia data pembanding
untuk gross margin, maka digunakan net margin sebagai pembanding.
5. Metode Profit Split yaitu membandingkan laba yang seharusnya
diperoleh bagi fungsi yang dijalankan perusahaan, misal perusahaan manufaktur
yang tidak menjalankan fungsi riset, sewajarnya memperoleh bagian laba
dibandingkan perusahaan induk yang menjalankan fungsi riset dan memikul resiko
atas riset tersebut.
Misalnya
untuk transaksi pembelian bahan baku dari perusahaan afiliasi dari sebuah
perusahaan manufaktur. Apabila perusahaan manufaktur tersebut memiliki harga
pembanding dari perusahaan manufaktur lain (tested party) untuk bahan
baku yang dibeli, dengan jenis barang dan kontrak pembelian yang sama, maka
untuk pembelian bahan baku tersebut dapat menggunakan metode CUP. Sebaliknya,
bila tidak tersedia data harga pembanding untuk barang dan syarat pembelian
yang sama, maka perusahaan manufaktur tersebut dapat mencoba metode CPM, yaitu
dengan mencari gross profit margin pembanding dari perusahaan manufaktur
sejenis (kesamaan fungsi). Selanjutnya untuk perusahaan distributor, atau
perusahaan dengan fungsi distributor, dapat menggunakan RPM, yaitu
membandingkan harga jual ALP dikurangi dengan margin harga jual kembali.
Apabila
rasio laba kotor tidak memiliki pembanding, maka dapat menggunakan metode,
TNMM, yaitu dengan menggunakan Profit Level Indicator (PLI) sebagai dasar
perbandingan. Hanya saja perlu diingat bahwa PLI yang digunakan haruslah
konsisten dengan pembandingnya, fokus pada nilai utama dari transaksi tertentu,
dapat diukur dan diperbandingkan. Beberapa PLI yang dapat digunakan antara lain
Berry Ratio (Laba Kotor/Biaya Usaha), Cost Plus Margin (Laba Kotor/Harga Pokok
Produksi), Net Cost Plus Margin (Laba Usaha/(HPP+Biaya Usaha)), Operating Margin
(Laba Usaha/Penjualan), Return On Assets (Laba Usaha/Aktiva Usaha).
Kerumitan
transaksi antar perusahaan afiliasi ditambah lagi dengan banyaknya transaksi
atas aktiva tak berwujud atau Intangible Property (IP). Contoh yang paling umum
adalah pembayaran royalti, jasa managemen, jasa teknis, dll. Disini kembali
harus diperhitungkan dengan cermat metode harga transfer yang digunakan.
Berkaitan
dengan kedudukan perusahaan induk sebagai Holding Company, maka
terkadang perusahaan subsidiari diwajibkan untuk membayar beberapa jenis biaya
kepada perusahaan induk antara lain Intra Group Services, Management Fee, Cost
Contribution Service atau secara singkat disebut Cost Contribution Arrangement
(CCA). Sepanjang biaya tersebut memang berhubungan dengan kepentingan
perusahaan subsidiary, maka biaya tersebut diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan. Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Menentukan apakah pemberian jasa internal
benar-benar dilaksanakan.
2. Mengidentifikasi penghitungan pembebanan biaya
intragroup service.
3. Menghitung harga wajar dari transaksi
tersebut.
Selain biaya
intragroup service, terdapat pula alokasi biaya yang dibebankan oleh perusahaan
induk kepada perusahaan subsidiary. Pembebanan alokasi biaya ini dapat
dikurangkan dari penghasilan kena pajak sepanjang memang perusahaan subsidiary
menerima manfaat dari alokasi biaya tersebut dan alokasi biaya dilakukan
berdasarkan biaya actual yang dikeluarkan oleh perusahaan induk.
Ø Mekanisme Pemecahan Masalah Keberatan Antar
Negara
Perlu diingat
bahwa masalah transfer pricing bukan hanya masalah dari satu Negara saja,
tetapi dapat menyangkut kepentingan pajak dari negara lain. Contoh, apabila
otoritas pajak Negara A melakukan koreksi atas transfer pricing yang berkaitan
dengan transaksi perusahaan afiliasi di Negara B, maka pada hakekatnya,
perusahaan afiliasi di Negara B dapat mengajukan koreksi negatif atas
penghasilan yang telah dilaporkan kepada otoritas pajak Negara B sesuai dengan
besaran koreksi transfer pricing dari otoritas pajak Negara A. untuk keperluan
ini, OECD Model Convention Article 25 telah menetapkan prosedur yang
harus ditempuh oleh kedua otoritas pajak Negara yang bersangkutan dalam apa
yang disebut Mutual Agreement Procedure (MAP). Petunjuk umum prosedur
MAP ini dapat dilihat di www.oecd.org/ctp/memap
Ø Ketentuan Mengenai Transfer Pricing Dalam
Peraturan Perundang-undangan DJP dan Permasalahannya
Saat ini,
peraturan yang menjadi dasar untuk melakukan koreksi Transfer Pricing sebagai
berikut:
Pasal 18 ayat (3) UU PPh
Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menetukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan
Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak
dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga
antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus,
atau metode lainnya.
Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan lain yang
secara tegas mengatur bagaimana koreksi TP dilakukan. UU Pajak Negara Jerman,
Thailand, Amerika, Malaysia telah mengatur bahwa Aparat Pajak dapat mengoreksi
harga wajar ke harga wajar rata-rata dalam Arm’s Length Range.
Pasal 18 ayat (3a) UU PPh
(3a)
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan
bekerja sama dengan pihak otoritas pajak Negara lain untuk menentukan harga
transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan
mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegoisasi setelah periode tertentu
tersebut berakhir.
Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan untuk
implementasi dari Advanced Pricing Agreement (APA), meskipun APA sudah
diperkenalkan sajak tahun 2001.
Pasal 18 ayat (3b) UU PPh
(3b) Wajib
Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain
atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat
ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang
Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain
atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga
Pasal 18 ayat (3c) UU PPh
(3c)
Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special
purpose company) yang didiriakan atau bertempat kedudukan di negara yang
memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan
istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau
bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau
pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia
atau bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal 18 ayat (3d) UU PPh
(3d)
besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari
pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali,
dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau
pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.
Pasal 2 UU PPN
Dalam hal
harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual
atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan
barang kena pajak atau jasa kena pajak itu dilakukan.
Kepdirjen no. Kep-01/PJ.7/1993
Tentang
pedoman pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan
istimewa.
SE-04/PJ.7/1993
Tentang petunjuk penanganan kasus-kasus
transfer pricing.
Pasal 9 ayat (1) tax treaty OECD model
Dalam hal
syarat yang dibuat atau diberlakukan oleh 2 (dua) perusahaan dalam hubungan
dagang dan hubungan keuangan di antara mereka, yang berbeda dengan syarat
apabila transaksi tersebut dilakukan antar perusahaan yang tidak memiliki
hubungan istimewa, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu
perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterimanya karena
adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan
dikenakan pajak yang pantas.
Pasal 16 PP 80/2007
(2) dalam
hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk
mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan
istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
(3)
ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dengan
atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.
Masalah:
1. Belum ada ketentuan lebih lanjut yang
mengatur bagaimana Wajib Pajak harus membuat dokumentasi mengenai transaksi
hubungan istimewa.
2. Tidak ada ketentuan yang menyebutkan sanksi
hukum apabila Wajib Pajak melanggar ketentuan tersebut.
3. Bila DJP menerapkan aturan yang tegas dalam
hal dokumentasi transaksi hubungan istimewa ini, maka beban pembuktian bahwa
transaksi hubungan istimewa dilakukan dengan harga wajar (ALP) berada pada
Wajib Pajak. Sebaliknya, bila tidak ada aturan yang tegas, maka beban
pembuktian tersebut bergeser pada DJP, untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak
tidak menggunakan harga wajar dalam bertransaksi dengan pihak hubungan
istimewa.
Ø Masalah Lain: Wajib Pajak tidak mengerti
dan/atau Mengabaikan urusan Transfer Pricing.
Dari
pengalaman berinteraksi dengan Wajib Pajak, ternyata banyak Wajib Pajak yang
tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti atau acuh terhadap masalah
transfer pricing ini. Meskipun Wajib Pajak mengisi lampiran khusus pernyataan
transaksi hubungan istimewa, tetapi mereka tidak mengerti apa konsekuensi dari
lampiran SPT yang mereka isi tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan besar
yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar, menyatakan dalam lampiran tersebut
bahwa mereka menggunakan metode CUP. Karena seluruh penjualan/pembelian
dilakukan kepada perusahaan afiliasi, maka sudah tentu Wajib Pajak ini sama
sekali tidak memiliki harga pembanding baik pembanding internal maupun
eksternal untuk setiap jenis barang yang mereka beli atau jual dari/kepada
perusahaan afiliasi. Mereka juga tidak mengadakan dokumentasi atau catatan
mengenai transaksi ini. Bahkan, Wajib Pajak juga tidak mengerti bahwa untuk
dapat diperbandingkan, Wajib Pajak perlu membuat analisis kesebandingan dalam
hal fungsi, aset dan resiko.
Begitu pula
dengan Kantor Akuntan Publik yang mengeluarkan laporan audit atas perusahaan
tersebut. Meskipun dalam laporan audit, nyata-nyata disebutkan bahwa transaksi
antar afiliasi dilakukan berdasarkan harga wajar, tetapi akuntan publik tersebut
belum tentu melakukan pengujian harga wajar sebagaimana yang disebutkan pada
PSAK no.7. pengujian yang mereka lakukan hanya sebatas pada jumlah transaksi
afiliasi tersebut dan harga yang dibayarkan, bukan pada kewajaran harga.
Ø Contoh Kasus Transfer Pricing dan Perlakuan
Perpajakannya
Kasus 1: Pusat perusahaan (Head Office) di
luar negeri dari bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia sering mengalokasikan
biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya
yang dialokasikan tersebut antara lain adalah: (a) Biaya training karyawan BUT
di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri; (b) Biaya
perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT; (c) Biaya
administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya
penyelenggaraan perusahaan; dan (d) Biaya riset dan pengembangan yang
dikeluarkan kantor pusat. Perlakuan perpajakannya adalah: alokasi biaya-biaya
tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh
masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang
boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor
pusat, kecuali untuk jenis usaha perbankan, dan royalti/sewa atas harta kantor
pusat. Dalam hal berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka
pengalokasian biaya kantor pusat kepada BUT adalah seperti yang diatur dalam
perjanjian tersebut. Kewajaran biaya training diatas dapat diuji dengan
membandingkan jumlah biaya training yang sama atau sejenis, yang
diselenggarakan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Untuk
biaya lainnya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasar
faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat
yang diterimanya, misalnya perbandingan jumlah peredaran.
Kasus 2: H
Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT C dengan modal yang belum disetor sebesar
Rp 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp 500 juta dengan bunga
25% atau Rp 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%.
Perlakuan perpajakannya adalah: penentuan kembali jumlah hutang PT C. Pinjaman
sebesar Rp 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga
besarnya hutang PT C yang dapat diakui adalah sebesar Rp 300 juta (Rp 500 juta
– Rp 200 juta). Perhitungan pajak penghasilan. Bagi PT C pengurangan biaya
bunga yang dapat dibebankan adalah Rp 60 juta (20% X Rp 300 juta) yang berarti
koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp 65 juta (Rp 125 juta – Rp 60
juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak
Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan perjanjian
penghindaran pajak berganda yang berlaku.
Saran dan Solusi Pencegahan Praktik
Transfer Pricing
1. Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak
dapat diberikan akses terhadap sistem e-KTP yang baru agar dataWP lebih lengkap
lagi sehingga mendukung sistem perpajakan.
2. Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak
dapat diberikan akses terhadap sistem perbankan dan ini menyangkut Amandemen UU
Perbankan sehingga data transaksi WP orang atau Badan diketahui tentunya dengan
persyaratan tertentu.
3. Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak
mengoptimalkan unit potensi penerimaan pajak agar dapat memetakan
karakter-karakter utama perusahaan sehingga dapat dianalisis potensi perpajakan
yang masih bisa diintensifikasikan.
4. Mengaktifkan peran akuntan publik ketentuan
paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan publik (SPAP) No 34 mengatur
peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties
transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan.
5. Memperluas kriteria transfer pricing tidak
hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di
bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.
6. Menggunakan data pembanding eksternal dari
pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor), dimana seluruh penerimaan DHE harus
melalui Bank Devisa dengan ketentuan eksportir wajib menyampaikan informasi
tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, dan NPWP eksportir. (Peraturan Bank
Indonesia No.13/20/PBI/2011).
7. Mengumumkan ke publik tentang proses
banding oleh Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing sebagai bentuk tekanan
moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang pengadilan
pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan pemerintah
mengumumkan jalannya peradilan pajak akan membuka mata publik bahwa
perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk
menghindari pajak.
8. Perlu ada data center, seperti Indonesian
Cool index, yang meng-update harga terbaru komoditas tambang. Harga terbaru
komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan
perusahaan pertambangan.
9. Pembentukan single document window (SDW)
antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral seperti,
APEC, Model SDW efektif untuk mengawasi harga penerimaan barang antar negara
produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan
perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak sehingga modus
transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.
v
KESIMPULAN
Kebijakan dalam menentukan transfer pricing
menjadi penting karena terkait dengan penilaian kinerja masing-masing anak
perusahaan. Penetapan transfer pricing yang tinggi akan menghasilkan keuntungan
pada anak perusahaan penjual sebaliknya menjadi biaya pada anak perusahaan
pembeli. Tetapi pada akhirnya laba yang sebenarnya akan muncul pada laba
perusahaan secara keseluruhan. Hal penting yang harus tetap menjadi perhatian
dalam transfer pricing adalah kemampuan perusahaan untuk masuk pada persaingan
eksternal sehingga penetapan transfer pricing harus dihitung secara matang.
Pengaruh transfer pricing harus juga
dilihat dari sisi Undang-undang pajak agar penetuan transfer pricing tidak
menambah beban pajak yang seharusnya tidak terjadi atau seharusnya masih
mungkin untuk diminimalkan. Oleh perusahaan multinasional, transfer pricing
dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh penghematan pajak secara global dengan
merelokasi penghasilan globalnya pada low tax countries dan menggeser
biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada big tax countries. Implementasi
transfer pricing cenderung dilakukan untuk penghindaran pajak. Namun bila
transfer pricing dikategorikan sebagai penggelapan pajak maka perusahaan
multinasional dianggap melakukan kriminal pajak dan akan dikenai sanksi pidana
perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam rangka terdapat persesuaian transfer
pricing antara otoritas pajak dengan Wajib Pajak, berkenaan dengan “arm’s
length price” dikembangkan pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan suatu model yang mirip dengan model “transfer pricing negoisasi dan
transfer pricing arbitrasi” tersebut di atas, dengan diperkenalkannya model
“kesepakatan transfer pricing – advance pricing agreement (APA)” seperti yang
terlihat dalam pasal 18 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak
penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Undang-undang No.17 Tahun 2000. Meskipun demikian pada praktiknya tidak semua
Wajib Pajak dapat menggunakan program AP karena prosedurnya cukup mahal dan memakan waktu, sehingga bagi
Wajib Pajak kecil hal ini menjadi sulit. Oleh karena itu, prosedurnya APA
biasanya hanya membantu dalam kasus transfer pricing yang nilainya cukup besar.
v
DAFTAR PUSTAKA
Anggarwati, Eva dan Rika Lidyah.”Evaluasi
Perencanaan Pajak Untuk Meminimalkan Beban Pajak Pada PT. Bukit Asam (persero)
Tbk”.
Asyik, Nur Fadjrih.2009.”International
Accounting Perspective: Peran Transfer Pricing Dalam Perusahaan Multinasional
(Pendekatan Agency Framework)”.JAMBSP, Vol.6 No.1: ISSN 1829-9857
Azlina Nur, Winda Hartanti, dan Desmiyawati.2014.”Analisis
Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan Transfer Pricing (Studi
Empiris Pada Perusahaan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia”.SNA 17 Mataram,
Lombok.
Budilaksono, Agung dan Widyaiswara.”Potret
Kecil Transfer Pricing Dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia”. Pusdiklat Bea
dan Cukai.
Chandraningrum, Tri Marta.”Pengaruh
Transfer Pricing Terhadap Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional”.
Kamil, Islamiah.”Pajak Internasional”.
Kompasiana. 1 April 2010.”Lika-Liku Transfer
Pricing, Mengendus Penghindaran Pajak Melalui Manipulasi Transfer Pricing”.
Lingga, Ita Salsalina.2012.”Aspek
Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika Praktik Penghindaran Pajak
(tax avoidance)”.Jurnal Zenit, Vol.1 No.3, Desember, Hal 210-221: ISSN
2252-6749
Nurhayati, Indah Dewi.2013.”Evaluasi Atas
Perlakuan Perpajakan Terhadap Transaksi Transfer Pricing Pada Perusahaan
Multinasional di Indonesia”.Jurnal Manajemen dan Akuntansi, Volume 2 Nomor 1,
April.
Permatasari, Paulina.2004.”Transfer Pricing
Sebagai Salah Satu Strategi Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional.
Bina Ekonomi, Vol.8 No.1, Januari: 1-109
Prabowo, Eko Yulianto.2010.”Penerapan
Analisis…”.Skripsi.Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
Pramana, Aviandika Heru.2014.”Pengaruh
Pajak, Bonus Plan, Tunneling Incentive, dan Debt Covenant Terhadap Keputusan
Perusahaan Untuk Melakukan Transfer Pricing”.Skripsi.Semarang: Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Diponegoro.
Pratiwi, Desak Eva Indira.”Tax Planning AS
Legal Efforts to Minimize Income Tax (Case Study on KSU Griya Anyar Sari Boga”.
Sanjaya, Cosmas Nico dan Anna
Purwaningsih.”Pengaruh Biaya Perdagangan Mitra dan Produk Domestik Bruto Mitra Terhadap
Foreign Direct Investment Negara-Negara Asia, Eropa, dan Amerika di Indonesia
Dengan Tax Treaty Sebagai Variabel Moderasi”.
Santoso, Imam.2004.”Advance Pricing
Agreement dan Problematika Transfer Pricing Dari Perspektif Perpajakan
Indonesia”. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol.6 No.2, November : 123-139
Setiawan, Deddy Arief.”Penentuan Harga
Transfer Atas Transaksi Internasional Dari Perspektif Perpajakan Indonesia
Silitonga, Laorens.2013.”Penerapan Tax
Planning Atas Pajak Penghasilan Badan Pada CV. Andi Offset Cabang Manado”.
Emba, Vol.1 No.3, September, Hal 829-839
Suhfi, Anhar.”Implementasi Tax Planning
Untuk Menghemat Pajak Penghasilan Terutang Perusahaan Pada PT. Bukit Asam
(persero) Tbk”.
W, Titin Dian, Muhammad Salfi dan
Dwiatmanto.”Penerapan Strategi Perencanaan Pajak (tax plnning) Dalam Upaya
Penghematan Pajak Penghasilan (studi pada PT BPR Tulus Puji Rejeki, Kediri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar