Selasa, 19 Januari 2016

Transfer Pricing Sebagai Salah Satu Strategi Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional

         

Disusun Oleh :

Ricky Aditya Angga Kuswara

B 200 120 087 / B





v  LATAR BELAKANG MASALAH

Perencanaan pajak merupakan sarana yang memungkinkan untuk merencanakan pajak-pajak yang akan dibayarkan agar tidak terjadi kelebihan dalam membayar pajak. Perencanaan pajak tidak berarti sebagai upaya menghindari pajak karena bila demikian jelas bertentangan dengan undang-undang perpajakan yang berlaku. Perencanaan pajak sendiri sebagai bagian terdepan dari manajemen pajak. Manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai pengelolaan perusahaan agar kewajiban pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat dilakukan dengan baik dan benar, dengan jumlah pajak yang dapat ditekan serendah mungkin untuk mendapatkan laba yang diharapkan tanpa unsur pelanggaran yang dikemudian hari dapat mengakibatkan adanya sanksi atau denda. Dengan demikian tujuan manajemen pajak adalah melakukan usaha efisiensi pajak untuk mencapai laba yang rasional dan melakukan pemenuhan kewajiban perpajakannya secara benar.

Hubungan perdagangan internasional yang semakin terbuka luas dan semakin ekstensif saat ini, menyebabkan pula semakin diperlukannya suatu ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur masalah transaksi internasional. Bersamaan dengan peningkatan beberapa tarif pajak di beberapa negara, terdapat pula peningkatan cara-cara penghindaran pajak internasional (international tax avoidance) yang antara lain terdapatnya beberapa daerah di dunia ini yang disebut sebagai surga persinggahan pajak (tax havens) yang menampung dana yang yang bergerak secara internasional, selain itu karena perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip apa yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja perusahaan multinasional tersebut menggunakan harga yang menyimpang dan harga yang berlaku umum.

Transfer Pricing merupakan isu pada bidang perpajakan, khususnya bagi korporasi multinasional yang melakukan transaksi internasional. Dari sisi pemerintahan, Transfer pricing dapat mengakibatkan potensi penerimaan pajak suatu negara akan berkurang karena perusahaan multinasional menggeser kewajiban perpajakannya dari negara yang tarifnya lebih tinggi yang nantinya menuju negara yang bertarif pajak rendah. Perusahaan juga berupaya meminimalisasi biaya termasuk meminimalisasi pembayaran pajak perusahaan jika dilihat dari sisi bisnis. Transfer pricing dipercaya menjadi salah satu strategi yang efektif untuk memenangkan persaingan dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas, bagi perusahaan multinasional yang berskala global.





v  LANDASAN TEORI



·         Teori Keagenan



Jensen dan Meckling (1976) mengemukakan teori keagenan yang menjelaskan hubungan antara manajemen perusahaan (agen) dan pemegang saham (prinsipal). Dalam hubungan keagenan (agency relationship) terdapat suatu kontrak satu orang atau lebih (prinsipal) yeng memerintahkan orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal dan memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Pihak prinsipal juga dapat membatasi divergensi kepentingannya dengan memberikan tingkat insentif yang layak kepada agen dan bersedia mengeluarkan biaya pengawasan (monitoring cost) untuk mencegah hazard dari agen. Namun, sebaliknya teori keagenan juga dapat mengimplikasikan adanya asimetri informasi. Konflik antar kelompok atau agency conflict merupakan konflik yang timbul antara pemilik, dan manajer perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan individu daripada tujuan perusahaan perusahaan. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya masalah keagenan (Colgan, 2001), yaitu:

1.      Moral Hazard

Hal ini umumnya terjadi pada perusahaan besar (kompleksitas yang tinggi), dimana seorang manajer melakukan kegiatan yang tidak seluruhnya diketahui oleh pemegang saham maupun pemberi pinjaman. Manajer dapat melakukan tindakan di luar pengetahuan pemegang saham yang melanggar kontrak dan sebenarnya secara etika atau norma mungkin tidak layak dilakukan.

2.      Penahanan Laba (Earnings Retention)

Masalah ini berkisar pada kecenderungan untuk melakukan investasi yang berlebihan oleh pihak manajemen (agen) melalui peningkatan dan pertumbuhan dengan tujuan untuk memperbesar kekuasaan, prestise, atau penghargaan bagi dirinya, namun dapat menghancurkan kesejahteraan pemegang saham.

3.      Horison Waktu

Konflik ini muncul sebagai akibat dari kondisi arus kas, dengan mana prinsipal lebih menekankan pada arus kas untuk masa depan yang kondisinya belum pasti, sedangkan manajemen cenderung menekankan kepada hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.

4.      Penghindaran Risiko Manajerial

Masalah ini muncul ketika ada batasan di versifikasi portofolio yang berhubungan dengan pendapatan manajerial atas kinerja yang dicapainya, sehingga manajer akan berusaha meminimalkan risiko saham perusahaan dari keputusan investasi yang meningkatkan risikonya. Misalnya manajemen lebih senang dengan pendanaan ekuitas dan berusaha menghindari peminjaman utang karena mengalami kebangkrutan atau kegagalannya.

Dapat disimpulkan bahwa timbulnya masalah-masalah keagenan terjadi karena terdapat pihak-pihak yang memiliki perbedaan kepentingan namun saling bekerja sama dalam pembagian tugas yang berbeda. Konflik keagenan dapat merugikan pihak prinsipal (pemilik) karena pemilik tidak terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan sehingga tidak memiliki akses untuk mendapatkan informasi yang memadai. Selain itu, manajemen selaku agen diberikan wewenang untuk mengelola aktiva perusahaan sehingga mempunyai insentif melakukan transfer pricing  dengan tujuan untuk menurunkan pajak yang harus dibayar

·         Afiliasi



Afiliasi adalah bentuk suatu hubungan antara dua atau lebih perseroan yang didasarkan pada kepemilikan saham. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan kepemilikan saham voting (voting stock) dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan ini dinamakan perusahaan berafiliasi. Perseroan yang menguasai mayoritas saham voting berhak melakukan kontrol terhadap perseroan lainnya dan dikenal dengan sebutan perusahaan induk, sedangkan perusahaan yang dikontrol atau yang memiliki sebagian kecil saham voting disebut dengan perusahaan anak (Judisseno, 2005:185).

Suatu transfer pricing, sedikitnya melibatkan dua pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak yang melakukan transfer atau transferor dan pihak yang menerima transfer atau transferee, artikel 9 ayat 1 dari OECD model tax convention menyebutkan bahwa hubungan istimewa dapat diuji melalui test partisipasi manajemen, penguasaan kendali dan modal perusahaan (OECD 2000):

Where (a) An enterprise of a Contracting State participates directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of the other Contracting State, or (b) The same persons participate directly or indirectly in the management, control or capital of an enterprise of a Contracting State and an enterprise of the other Contracting State.

Pengertian mengenai hubungan istimewa menurut Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK No. 7) adalah sebagai berikut:

(a)                Perusahaan yang melalui satu atau lebih perantara (intermedia ries), mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau berada di bawah pengendalian bersama, dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan fellow subsidiaries); (b) perusahaan asosiasi (associated company); (c) perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam transaksinya dengan perusahaan pelapor); (d) karyawan kunci, yaitu orang-orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi, dan manajer dari perusahaan serta anggota keluarga dekat orang-orang tersebut; (e) perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam (c) atau; (d) setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas perusahaan tersebut, ini mencakup perusahaan-perusahaan yang dimiliki anggota dewan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama dari perusahaan pelapor dan perusahaan-perusahaan yang mempunyai anggota manajemen kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.

Pengertian hubungan istimewa menurut Undang-undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008 (UU PPh) adalah:

“Hubungan istimewa dianggap ada apabila: (a) Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan  paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau (b) Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau (c) terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat”.





·         Kewajaran (Arm’s Length Principle)



Prinsip kewajaran berarti mengacu kepada sesuatu yang dianggap wajar. Masalah yang timbul adalah acuan yang digunakan apakah dapat dikatakan sebanding atau comparable. Dalam artikel 9:1 dari OECD model tax convention disebutkan juga bahwa (OECD:2000): “…and in either case conditions are made or imposed between the two enterprises in their commercial or financial relations which differ from those which would be made between independent enterprises, then any profits which would, but for those conditions, have not so accrued to one of the enterprises, but, by the reason of those conditions, have not so accrued may be included in the profits of that enterprise and taxed accordingly

Menyangkut masalah kewajaran, PSAK No.17 menyebutkan bahwa pengakuan akuntansi suatu pengalihan sumber daya secara normal didasarkan pada suatu harga yang disepakati pihak yang bersangkutan. Harga yang berlaku antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa adalah harga pertukaran antara pihak yang independen (arm’s length price). Pihak yang mempunyai hubungan istimewa mungkin mempunyai suatu tingkat keluwesan dalam proses penentuan harga, yang tidak terdapat dalam transaksi antara pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Sedangkan menurut UU PPh menyebutkan hal-hal sebagai berikut: “Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa”.

Menurut arm’s length principle, harga-harga transfer seharusnya ditetapkan supaya dapat mencerminkan harga yang disepakati sebagaimana transaksi tersebut dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak terkait yang bertindak secara bebas. Dapat dijelaskan bahwa apabila terjadi transaksi antara perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka kondisi dari transaksi tersebut haruslah sama dengan transaksi antara pihak yang independen, sehingga ketidaksesuaian dapat menyebabkan dilakukannya koreksi oleh pihak otoritas fiskal.



·         Pajak



Menurut UU Perpajakan (UU No. 36 Tahun 2008), yang dimaksud dengan pajak adalah:

“Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” (Primandita, 2011:4).

Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani yang telah diterjemahkan oleh Brotodiharjo dalam buku pengantar Ilmu Hukum Pajak (2003:2).

“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi- kebali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.

Pajak merupakan iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan) serta tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum (Mardiasmo,2006).

Judisseno (2005:5), mendefinisikan pajak sebagai suatu keajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa pembangunan nasional yang pelaksanaannya di atur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Rochmat Soemitro menyebutkan bahwa pajak adalah iuran kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal, yang langsung dapat ditunjukkan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum (Agoes, 2013:6).

Prof. Dr. M. J. H. Smeets dalam bukunya De Economische Betekenis der Belastingen, 1951, mendefinisikan pajak sebagai berikut:

“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum, dan yang dapat dipaksakan, tanpa ada kalanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah” (Suandy, 2011:9).



·         Pajak Penghasilan



Mengacu pada Undang-undang No.36 Tahun 2008 pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan, baik penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau perorangan maupun badan yang berbeda didalam Negeri dan/atau diluar Negeri yang terutang selama tahun pajak.



·         Perencanaan Pajak (Tax Planning)



Menurut Suandy (2008:6) Perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.

Zain (2008:67) mengungkapkan bahwa perencanaan pajak merupakan tindakan penstrukturan yang terkait dengan konsekuensi potensi pajaknya, yang tekanannya kepada pengendalian setiap transaksi yang ada konsekuensi pajaknya. Tujuannya adalah bagaimana pengendalian tersebut dapat mengefisienkan jumlah pajak yang akan ditransfer ke pemerintah melalui apa yang disebut sebagai penghindaran pajak (tax avoidance) dan bukan penyelundupan pajak (tax evasion).

Ompusunggu (2011:3) menyatakan Tax Planning adalah suatu kapasitas yang dimiliki oleh Wajib Pajak untuk menyusun aktivitas keuangan guna mendapat pengeluaran (beban) pajak yang minimal. Secara teoritis, Tax Planning dukenal sebagai effective tax planning, yaitu seorang Wajib Pajak berusaha mendapat penghematan pajak melalui prosedur penghindaran pajak secara sistematis sesuai ketentuan UU perpajakan.

Tax planning sebagai bagian dari kegiatan manajemen memiliki beberapa manfaat yang berguna bagi perusahaan yang melaksanakan kegiatan usaha dalam pencapaian laba maksimum. Ada 4 hal penting yang dapat diambil dari keuntungan dari pelaksanaan Tax planning yaitu:

1.      Penghematan kas keluar, pajak dianggap sebagai bagian unsur biaya yang dapat diefisienkan. Penghematan kas untuk pembayaran biaya-biaya yang ada di perusahaan, termasuk biaya pajak harus dipertimbangkan sebagai faktor akan mengurangi laba, dengan membayar pajak seefisien mungkin perusahaan dapat bertindak sebagai Wajib Pajak yang taat sekaligus tidak mengganggu cash flow dari perusahaan.

2.      Mengatur aliran kas, karena dengan tax planning yang dikelola secara cermat, perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat, mengestimasi kebutuhan kas terhadap pajak. Hal ini akan menolong perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan operasional perusahaan berdasarkan anggaran yang telah disusun pada periode sebelumnya.

3.      Menentukan waktu pembayaran, sehingga tidak terlalu awal atau terlambat yang mengakibatkan denda atau sanksi. Kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan secara on time, artinya perusahaan telah melakukan penghematan atas sanksi atau denda yang terjadi bila terjadi keterlambatan dan atau kesalahan atas kewajiban perpajakan perusahaan.

4.      Membuat data-data terbaru untuk mengupdate peraturan perpajakan. Tindakan ini berguna untuk menyikapi peraturan perpajakan yang berubah setiap waktu, sehingga perusahaan tetap mengetahui kewajiban-kewajiban dan hak-hak perusahaan sebagai Wajib Pajak.



Jenis-jenis Perencanaan Pajak (Suandy:2011) dibagi menjadi 2 (dua) yaitu:

1.        Perencanaan Pajak Nasional (National Tax Planning) yaitu perencanaan yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik. Dalam perencanaan pajak nasional pemilihan atas dilaksanakannya atau tidak suatu transaksi hanya bergantung terhadap transaksi tersebut. Artinya untuk menghindari/mengurangi pajak, wajib pajak dapat memilih jenis transaksi apa yang harus dilaksanakan sesuai dengan hukum pajak yang ada, misalnya akan terkena tarif khusus final atau tidak.

2.        Perencanaan Pajak Internasional (International Tax Planning) yaitu perencanaan pajak yang dilakukan berdasarkan undang-undang domestik dan juga harus memperhatikan perjanjian pajak (tax treaty) dan undang-undang dari negara-negara yang terlibat. Dalam perencanaan pajak internasional yang dipilih adalah negara (yuridiksi) mana yang akan digunakan untuk suatu transaksi.



·         Transfer Pricing



Harga transfer atau transfer pricing dalam bahasa inggris berasal dari kata transfer price sering diartikan sebagai nilai yang melekat pada pengalihan barang dan jasa yang terjadi pada suatu transaksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Menurut Horngren (2008: 375), yang dimaksud dengan transfer pricing adalah harga yang dibebankan satu subunit (departemen atau divisi) untuk suatu produk atau jasa yang dipasok ke subunit yang lain di organisasi yang sama.

Transfer Pricing adalah harga transfer dari barang/jasa atau aktiva tak berwujud (intangible property) yang ditransfer antar perusahaan afiliasi dalam satu grup perusahaan atau antar divisi dalam satu perusahaan. Semula transfer pricing digunakan untuk kepentingan penilaian tingkat kemampuan laba masing-masing divisi atau masing-masing perusahaan afiliasi yang terlibat dalam transaksi afiliasi. Tetapi sejalan dengan makin besarnya perusahaan multinasional, perbedaan tarif pajak antar negara dan perencanaan pajak yang makin komprehensif, maka transfer pricing digunakan sebagai alat untuk menggeser penghasilan kena pajak dari suatu negara ke negara yang tarif pajaknya lebih rendah atau dari perusahaan yang berada dalam posisi laba ke perusahaan afiliasi yang masih mengalami kerugian.

Dari sudut pandang ekonomi, menurut Hirshleifer yang diambil oleh santoso (2004): transfer price should be the marginal cost of the selling division in order to maximize the firm’s profit as a whole. Olek karenanya, prinsip dasar harga transfer adalah untuk memaksimalkan laba. Sehingga perusahaan harus secara berkala menjual produk sampai dengan titik dimana tambahan biaya karena adanya tambahan unit yang diproduksi dan dijual, yang disebut marginal cost produksi unit yang diproduksi dan dijual, lebih rendah dibanding penghasilan yang diperoleh dari penjualan unit tersebut (marginal revenue). Dalam hal penentuan harga untuk perusahaan yang terintegrasi, harga harus ditentukan berdasarkan marginal cost produsen.

Sedangkan menurut Gunadi, pengamat pajak UI, transfer pricing adalah suatu rekayasa manipulasi harga secara sistematis dengan maksud mengurangi laba afiliasial, membuat seolah-olah perusahaan rugi, menghindari pajak atau bea di suatu negara (Suandy, 2011:71).




v  PEMBAHASAN



·         Perencanaan Pajak pada Perusahaan Multinasional



Dalam melakukan perencanaan pajak perusahaan multinasional memiliki keunggulan tertentu atas perusahaan yang murni domestik karena memiliki fleksibilitas goegrafis lebih besar dalam menentukan lokasi produksi dan sistem distribusi. Fleksibilitas ini memberikan peluang tersendiri untuk memanfaatkan perbedaan antar yurisdiksi pajak nasional sehingga dapat menurunkan beban pajak perusahaan secara keseluruhan. Pergeseran beban dan pendapatan melalui ikatan-ikatan dalam perusahaan juga memberikan peluang tambahan bagi perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak global yang dibayarkan. Sebagai respons atas hal ini, pemerintahan nasional senantiasa merancangkan aturan hukum untuk meminimalkan kesempatan melakukan arbitrase yang melibatkan beberapa yurisdiksi pajak nasional yang berbeda. Pengamatan atas masalah perencanaan pajak ini dimulai dengan dua dua hal dasar : 1. Pertimbangan pajak seharusnya tidak pernah mengendalikan strategi usaha; 2. Perubahan hukum pajak secara konstan membatasi manfaat perencanaan pajak dalam jangka panjang.

Dalam penelitian Permatasari (2004) menjelaskan bahwa perencanaan pajak untuk suatu operasi yang bersifat multinasional merupakan pekerjaan yang kompleks, tetapi di lain pihak mengandung aspek yang vital bagi bisnis internasional. Pajak berdampak terhadap keputusan penanaman modal di luar negeri, struktur keuangan, ketetapan besarnya biaya modal, manajemen valuta asing, manajemen modal kerja dan pengendalian keuangan.

Dalam rangka mengevaluasi kebijakan perdagangan dan efektivitas lalu lintas modal internasional, adalah kurang efisien apabila hanya difokuskan secara sempit pada tarif, kuota dan subsidi-subsidi non-pajak saja, sebab faktor pajak pun tidak sedikit perannya dalam evaluasi kebijakan yang dimaksud. Kebijakan perpajakan kadang-kadang sangat berperan dalam pengambilan keputusan mengenai penanaman dan pembiayaan perusahaan yang akan melakukan investasi diluar negeri. Sedangkan perusahaan multinasional untuk operasionalnya diluar negeri, kadang-kadang harus mendirikan beberapa negara yang tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan nasional.

Sebagian besar transaksi yang terjadi antar anggota grup perusahaan multinasional tersebut dapat dikategorikan dalam beberapa transaksi, seperti penjualan barang dan jasa, lisensi, paten, penjamin utang dan seterusnya. Harga-harga yang di bebankan pada transaksi tersebut, tidaklah perlu sama dengan harga yang berlaku di pasaran bebas. Oleh karena perusahaan multinasional memiliki posisi yang menentukan dalam hal prinsip apa yang akan digunakannya yang tentunya menguntungkan bagi grupnya, maka dapat saja perusahaan multinasional tersebut menggunakan harga yang menyimpang dari harga yang berlaku umum. Penyimpangan harga yang dimaksud adalah dari harga yang disebut sebagai arm’s length price yang lazimnya berlaku dan disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan transaksi terhadap barang yang sama dan dalam kondisi yang sama pula, apabila perusahaan tersebut tidak mempunyai hubungan istimewa.

Perusahaan multinasional tersebut dapat saja menggunakan transfer pricing yang lebih rendah dari arm’s length price untuk tujuan mengefisienkan beban pajaknya atau menggunakan harga yang lebih tinggi dari arm’s length price untuk tujuan tertentu. Apabila terjadi transaksi yang menyimpang dari arm’s length price, apakah harga lebih tinggi atau rendah, hal ini dianggap sebagai usaha untuk menggeser laba perusahaan dari satu grup ke grup lainnya dan hal ini berarti pula bahwa pajak yang terutang di kedua grup yang terlibat tersebut akan mengalami perubahan.

Dilihat dari segi kepentingan perusahaan multinasional, dalam rangka mengorganisir transaksi antar unit dalam grupnya, memang masalah transfer pricing merupakan masalah yang harus dipertimbangkan, dengan catatan bahwa penyesuaian harga sebenarnya dengan harga pasaran bebas dalam rangka menentukan penghasilan kena pajak yang wajar tidak perlu memperhatikan kewajiban-kewajiban berdasarkan perjanjian yang ada yang harus dipenuhi oleh negara yang bersangkutan untuk memenuhi harga-harga atau maksud-maksud tertentu dari negara yang bersangkutan untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang.

Banyak permasalahan yang sering dihadapi oleh perusahaan multinasional dalam perencanaan pajaknya yang berbeda dengan yuridiksi pajaknya. Solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah perusahaan multinasional memecah-mecah penghasilan dan biaya yang dialokasikan di berbagai yuridiksi untuk menghindari adanya pajak berganda. Penghindaran pajak berganda dapat dihindari dengan cara sebagai berikut:

1.      Penghasilan yang dikenakan sebaiknya hanya satu negara saja.

2.      Perhitungan untuk kredit pajak dapat dilakukan dengan pajak yang terutang.

Pajak berganda dapat dikurangi dengan banyak berbagai cara melalui kredit pajak (tax kredit), perjanjian perpajakan (tax treaties), surga pajak (tax havens), pengecualian pajak (tax exemption) dan prinsip penangguhan (the defferal principle). Dapat dijelaskan sebagai berikut:

1.      Kredit Pajak, Wajib Pajak yang dapat mengurangi jumlah pajak terutangnya yang di luar Negeri dari jumlah pajak yang berdasarkan penghitungan peraturan pajak domestik. Pengurangan yang sifatnya langsung dari jumlah pajak terutang, sehingga mengurangi pajak berganda.

2.      Perjanjian Perpajakan, mengatur tentang penghasilan dari antar negara yang dikenakan pajak atau tidak dikenakan pajak oleh otoritas negara dari penghasilan yang diperoleh atau tidak diperoleh.

3.      Surga Pajak, suatu negara yang penghasilannya rendah atau tidak ada pengenaan pajak atas penghasilan yang diperoleh. Kebanyakan perusahaan multinasional yang mempunyai investasi atau transfer penghasilan yang rendah menggunakan negara tax havens untuk menggeser penghasilannya dari negara yang tarif pajaknya tinggi ke negara tax havens melalui transfer pricing.

4.      Pengecualian Pajak, perusahaan tertentu yang tidak perlu membayar pajak penghasilan dari penghasilan yang diperoleh.

5.      Prinsip Penangguhan, penundaan pajak penghasilan bagi perusahaan induk yang mempunyai penghasilan di luar negeri, sampai perusahaan induk tersebut diterima.

Permasalahan yang perlu diantisipasi bukan hanya pajak berganda, tetapi juga pajak internasional yang perlu diperhatikan karena berdampak pada keputusan manajemen, dimana investasi yang dilakukan, produk yang dipasarkan, bentuk usaha yang baik untuk komersial dan fiskal, lintas valas yang ketat atau pengembalian hasil keuntungan setelah pajak, cara pembiayaannya, termasuk masalah tentang transfer pricing.

Sebenarnya Direktorat Jenderal Pajak sangat menyadari praktik penghindaran pajak dengan melakukan manipulasi Transfer Pricing. Disebut menghindari pajak (tax avoidance), karena penghindaran tersebut masih dilakukan dalam koridor peraturan pajak yang berlaku. Praktik ini terutama dilakukan oleh perusahaan multinasional. Tujuan utama dari manipulasi Transfer Pricing tentu saja adalah pergeseran penghasilan kena pajak.

Menurut hasil riset dari Her Majesty Revenue Center (HMRC), Inggris dan Internal Revenues Service (IRS), USA, beberapa indikator dari manipulasi Transfer Pricing adalah sebagai berikut :

1.      SPT Tahunan Badan melaporkan rugi dalam beberapa tahun berturut-turut.

2.      Peredaran usaha tinggi tapi laba diperoleh kecil.

3.      Transaksi hubungan istimewa atau transaksi antar afisiliasi yang cukup besar.

4.      Tingkat kemampuan laba buruk dibandingkan dengan perusahaan sejenis.

5.      Rugi yang tidak dapat dijelaskan.

6.      Memiliki perusahaan afiliasi di Negara Tax haven.

Dari tahun pajak 2001 sampai dengan tahun pajak 2006, kerugian akumulatif Perusahaan multinasional mencapai lebih dari Rp 52,57 Triliun. Ini berarti potensi kerugian pajak sebesar hampir Rp 12,77 Triliun atau 2,62 Triliun per tahun.

·         Transfer Pricing pada Perusahaan Multinasional



Ada dua tujuan transfer prricing yang ingin dicapai oleh perusahaan multinasional yaitu (Yenni, 2000): (1). Performance Evaluation salah satu alat yang dipakai oleh banyak perusahaan dalam menilai kinerjanya adalah menghitung berapa tingkat ROI-nya atau Return On Investment.

Terkadang tingkat ROI untuk satu devisi dengan devisi lainnya dalam satu perusahaan yang sama berbeda satu dengan yang lain. Misalnya, divisi penjualan menginginkan harga transfer yang lebih tinggi yang akan meningkatkan income, yang secara otomatis akan meningkatkan ROI-nya, di sisi lain, divisi pembelian menuntut harga transfer yang rendah yang nantinya akan berakibat pada peningkatan income, yang berarti juga meningkatkan ROI. Hal ini yang membuat harga transfer berada di posisi terjepit. Oleh karena itu induk perusahaan sangat berperan dalam penentuan harga transfer; (2). Optimal Determination of Taxes tarif pajak antar satu negara dengan negara yang lain berbeda.

Perbedaan ini disebabkan oleh lingkungan ekonomi, sosial, politik dan budaya yang berlaku dalam negara tersebut. Apabila di sebuah negara mengalami tingkat investasi rendah, maka tarif pajak berlaku di negara tersebut juga rendah. Tetapi jika sebuah negara mengalami tingkat investasi yang tinggi, yang dibuktikan dengan tingkat pertumbuhan badan usaha yang semakin meningkat. Dasar inilah tarif pajak yang ditetapkan di negara yang bersangkutan tinggi.

Suatu survey yang dilakukan oleh Ernest & Young LLp (2008), menemukan bahwa masalah transfer pricing merupakan masalah utama dalam bidang perpajakan selama kurun waktu 2 tahun terakhir yang terjadi pada perusahaan multinasional di seluruh dunia. Oleh karena itu banyak kantor akuntan publik melakukan audit compliance, untuk melakukan pemeriksaan atas masalah transfer pricing yang berpengaruh terhadap jumlah pajak yang harus dibayarkan.



Undang-Undang Mengenai Transfer Pricing



Penentuan harga transfer (transfer pricing) menyentuh aspek perpajakan sehingga yang disajikan adalah peraturan-peraturan perpajakan yang terkait dengan perpajakan internasional seperti halnya dalam pengertian pajak menurut Ketentuan Umum & Tata Cara Perpajakan. Selain itu, buku-buku perpajakan dan jurnal-jurnal perpajakan yang memuat kajian dan ulasan tentang perpajakan khususnya perpajakan internasional atau manajemen perpajakan.

Peraturan-peraturan perpajakan yang terkait dengan perpajakan internasional meliputi:

1.      Ketentuan Pasal 32A Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008, diatur bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

2.      Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 dan pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 tahun 1983 tentang pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 tahun 2009, diatur bahwa adanya suatu transaksi yang dikategorikan sebagai transaksi hubungan istimewa.

3.      Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra diatur mengenai Associated Enterprises (hubungan istimewa).

4.      Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 tentang perubahan atas peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 tentang penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa.



Hal penting dalam masalah Transfer Pricing

Ø  Hubungan Istimewa

Fokus dalam masalah transfer pricing tentu saja transaksi afiliasi atau transaksi yang dilakukan antara pihak yang memiliki hubungan istimewa. DJP telah menggariskan ketentuan mengenai hubungan istimewa ini dalam pasal 18 UU PPh yaitu sebagai berikut:

Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (3d), pasal 9 ayat (1) huruf f, dan pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila:

a.       Wajib Pajak mempunyai pnyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua wajib pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.

b.      Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau

c.       Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat.



Ø  Perbandingan

Sebenarnya, sepanjang harga transfer dilakukan dengan harga wajar (Arm’s Length Price), yaitu harga yang ditetapkan seandainya pihak-pihak yang bertransaksi tidak berafiliasi atau tidak memiliki hubungan istimewa, maka tidak ada masalah dengan transfer pricing ini. Karena itu DJP mensyaratkan Wajib Pajak yang memiliki transaksi afiliasi untuk mengisi lampiran khusus pernyataan transaksi hubungan istimewa. Dalam lampiran tersebut, Wajib Pajak harus mengisi jenis transaksi (penjualan/pembelian/jasa), jumlah nominal transaksi afiliasi dan metode harga transfer yang digunakan untuk setiap jenis transaksi.

Wajib Pajak harus dapat menyampaikan bukti bahwa harga transfer yang digunakan dalam transaksi afiliasi adalah harga wajar, yaitu dengan cara melakukan perbandingan. Sesuatu yang dapat diperbandingkan adalah sebagai berikut.

1.      Apabila terdapat perbedaan, maka perbedaan ini tidak akan mempengaruhi kondisi yang diperbandingkan (misalnya harga, laba kotor, dll).

2.      Penyesuaian perbandingan dapat dilakukan untuk menghilangkan beberapa perbedaan dalam proses perbandingan.

3.      Kondisi yang dapat diperbandingkan bukan berati bahwa kondisi tersebut identik, tetapi perbandingan tersebut haruslah dapat diandalkan dan masuk akal.

Sedangkan menurut paragraf 1.19-1.35 OECD Guidelines, faktor yang menentukan keterbandingan adalah sebagai berikut.

1.      Karakteristik dari barang/jasa/aktiva tak berwujud.

2.      Analisis fungsional yaitu analisis fungsi (apakah perusahaan memiliki fungsi yang sama seperti fungsi pabrikasi, distribusi, marketing, riset, dll), analisis resiko (resiko bisnis, resiko pasar, resiko pabrikasi, resiko selisih kurs, resiko persediaan, resiko kredit, dll) dan analisis aset (besaran aset yang digunakan seperti pabrik dan peralatan, kepemilikan aktiva tak berwujud, dll)

3.      Syarat/kontrak transaksi.

4.      Keadaan ekonomi.

5.      Strategi bisnis.

Selain kelima faktor penentu keterbandingan di atas, terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbngkan juga seperti kebijakan pemerintah, penilaian bea cukai, dll.

Data yang digunakan untuk melakukan perbandingan sebaiknya berasal dari beberapa tahun misalnya data tahun 2006 sampai dengan 2008. Lebih baik lagi apabila data berasal dari data perusahaan publik yang dapat diakses oleh setiap orang, sehingga tidak ada pelanggaran atas rahasia jabatan.

Perbandingan dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:

1.      Perbandingan internal:

Membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan oleh perusahaan yang sama. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A dibandingkan dengan harga jual barang X ke perusahaan pihak ketiga

2.      Perbandingan eksternal:

Membandingkan transaksi afiliasi dengan transaksi biasa yang dilakukan oleh perusahaan berbeda. Contoh: harga jual PT A atas barang X ke afiliasi A dibandingkan dengan harga jual PT B atas barang X ke perusahaan pihak ketiga.

Hasil perbandingan akan menghasilkan apa yang disebut Arm’s Length Range (ALR), yaitu kumpulan dari harga wajar dari perusahaan –perusahaan sejenis yang dibandingkan, mulai dari tertinggi sampai yang paling rendah. Koreksi atas ketidakwajaran harga transfer dapat dilakukan berdasarkan pada ALR ini, yaitu dengan mengambil titik  terendah dari ALR, titik tertinggi, rata-rata, atau titik tengah dari ALR. Tetapi, jangan lupa, penentuan titik mana dalam ALR yang akan digunakan sebagai dasar koreksi transfer pricing, haruslah sudah ditentukan oleh peraturan perundangan.

Ø  Pemilihan Metode Harga Transfer

Setelah melakukan perbandingan, maka tahap berikutnya adalah memilih metode transfer pricing yang paling cocok untuk setiap transaksi afiliasi perusahaan, yaitu sbb:

1. Metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) yaitu metode harga sebanding, yaitu bila terdapat harga pembanding untuk barang/jasa sejenis. Fokus adalah pada produk/jasa.

             2. Metode Cost Plus (CPM) yaitu membandingkan margin kotor dari harga pokok (cost plus). Bila tidak memiliki harga pembanding baik internal maupun eksternal, maka dapat menggunakan metode perbandingan margin kotor, bagi perusahaan dengan memiliki fungsi sama. Misalnya margin kotor antar perusahaan manufaktur.

3.      Metode Resale Price (RPM) yaitu membandingkan gross margin profit dari harga jual. Cocok digunakan perusahaan distributor.

4.      Metode Transactional Net Margin (TNMM) yaitu bila tidak tersedia data pembanding untuk gross margin, maka digunakan net margin sebagai pembanding.

5.      Metode Profit Split yaitu membandingkan laba yang seharusnya diperoleh bagi fungsi yang dijalankan perusahaan, misal perusahaan manufaktur yang tidak menjalankan fungsi riset, sewajarnya memperoleh bagian laba dibandingkan perusahaan induk yang menjalankan fungsi riset dan memikul resiko atas riset tersebut.

Misalnya untuk transaksi pembelian bahan baku dari perusahaan afiliasi dari sebuah perusahaan manufaktur. Apabila perusahaan manufaktur tersebut memiliki harga pembanding dari perusahaan manufaktur lain (tested party) untuk bahan baku yang dibeli, dengan jenis barang dan kontrak pembelian yang sama, maka untuk pembelian bahan baku tersebut dapat menggunakan metode CUP. Sebaliknya, bila tidak tersedia data harga pembanding untuk barang dan syarat pembelian yang sama, maka perusahaan manufaktur tersebut dapat mencoba metode CPM, yaitu dengan mencari gross profit margin pembanding dari perusahaan manufaktur sejenis (kesamaan fungsi). Selanjutnya untuk perusahaan distributor, atau perusahaan dengan fungsi distributor, dapat menggunakan RPM, yaitu membandingkan harga jual ALP dikurangi dengan margin harga jual kembali.

Apabila rasio laba kotor tidak memiliki pembanding, maka dapat menggunakan metode, TNMM, yaitu dengan menggunakan Profit Level Indicator (PLI) sebagai dasar perbandingan. Hanya saja perlu diingat bahwa PLI yang digunakan haruslah konsisten dengan pembandingnya, fokus pada nilai utama dari transaksi tertentu, dapat diukur dan diperbandingkan. Beberapa PLI yang dapat digunakan antara lain Berry Ratio (Laba Kotor/Biaya Usaha), Cost Plus Margin (Laba Kotor/Harga Pokok Produksi), Net Cost Plus Margin (Laba Usaha/(HPP+Biaya Usaha)), Operating Margin (Laba Usaha/Penjualan), Return On Assets (Laba Usaha/Aktiva Usaha).

Kerumitan transaksi antar perusahaan afiliasi ditambah lagi dengan banyaknya transaksi atas aktiva tak berwujud atau Intangible Property (IP). Contoh yang paling umum adalah pembayaran royalti, jasa managemen, jasa teknis, dll. Disini kembali harus diperhitungkan dengan cermat metode harga transfer yang digunakan.

Berkaitan dengan kedudukan perusahaan induk sebagai Holding Company, maka terkadang perusahaan subsidiari diwajibkan untuk membayar beberapa jenis biaya kepada perusahaan induk antara lain Intra Group Services, Management Fee, Cost Contribution Service atau secara singkat disebut Cost Contribution Arrangement (CCA). Sepanjang biaya tersebut memang berhubungan dengan kepentingan perusahaan subsidiary, maka biaya tersebut diperbolehkan untuk dikurangkan dari penghasilan. Hal yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1.      Menentukan apakah pemberian jasa internal benar-benar dilaksanakan.

2.      Mengidentifikasi penghitungan pembebanan biaya intragroup service.

3.      Menghitung harga wajar dari transaksi tersebut.

Selain biaya intragroup service, terdapat pula alokasi biaya yang dibebankan oleh perusahaan induk kepada perusahaan subsidiary. Pembebanan alokasi biaya ini dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak sepanjang memang perusahaan subsidiary menerima manfaat dari alokasi biaya tersebut dan alokasi biaya dilakukan berdasarkan biaya actual yang dikeluarkan oleh perusahaan induk.

Ø  Mekanisme Pemecahan Masalah Keberatan Antar Negara

Perlu diingat bahwa masalah transfer pricing bukan hanya masalah dari satu Negara saja, tetapi dapat menyangkut kepentingan pajak dari negara lain. Contoh, apabila otoritas pajak Negara A melakukan koreksi atas transfer pricing yang berkaitan dengan transaksi perusahaan afiliasi di Negara B, maka pada hakekatnya, perusahaan afiliasi di Negara B dapat mengajukan koreksi negatif atas penghasilan yang telah dilaporkan kepada otoritas pajak Negara B sesuai dengan besaran koreksi transfer pricing dari otoritas pajak Negara A. untuk keperluan ini, OECD Model Convention Article 25 telah menetapkan prosedur yang harus ditempuh oleh kedua otoritas pajak Negara yang bersangkutan dalam apa yang disebut Mutual Agreement Procedure (MAP). Petunjuk umum prosedur MAP ini dapat dilihat di www.oecd.org/ctp/memap

Ø  Ketentuan Mengenai Transfer Pricing Dalam Peraturan Perundang-undangan DJP dan Permasalahannya

Saat ini, peraturan yang menjadi dasar untuk melakukan koreksi Transfer Pricing sebagai berikut:

Pasal 18 ayat (3) UU PPh

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menetukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.

Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan lain yang secara tegas mengatur bagaimana koreksi TP dilakukan. UU Pajak Negara Jerman, Thailand, Amerika, Malaysia telah mengatur bahwa Aparat Pajak dapat mengoreksi harga wajar ke harga wajar rata-rata dalam Arm’s Length Range.

Pasal 18 ayat (3a) UU PPh

(3a) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak Negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegoisasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.

Masalah: tidak ada peraturan pelaksanaan untuk implementasi dari Advanced Pricing Agreement (APA), meskipun APA sudah diperkenalkan sajak tahun 2001.

Pasal 18 ayat (3b) UU PPh

(3b) Wajib Pajak yang melakukan pembelian saham atau aktiva perusahaan melalui pihak lain atau badan yang dibentuk untuk maksud demikian (Special Purpose Company), dapat ditetapkan sebagai pihak yang sebenarnya melakukan pembelian tersebut sepanjang Wajib Pajak yang bersangkutan mempunyai hubungan istimewa dengan pihak lain atau badan tersebut dan terdapat ketidakwajaran penetapan harga

Pasal 18 ayat (3c) UU PPh

(3c) Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didiriakan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal 18 ayat (3d) UU PPh

(3d) besarnya penghasilan yang diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri dari pemberi kerja yang memiliki hubungan istimewa dengan perusahaan lain yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia dapat ditentukan kembali, dalam hal pemberi kerja mengalihkan seluruh atau sebagian penghasilan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri tersebut ke dalam bentuk biaya atau pengeluaran lainnya yang dibayarkan kepada perusahaan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tersebut.

Pasal 2 UU PPN

Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak itu dilakukan.

Kepdirjen no. Kep-01/PJ.7/1993

Tentang pedoman pemeriksaan pajak terhadap Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa.

SE-04/PJ.7/1993

Tentang petunjuk penanganan kasus-kasus transfer pricing.

Pasal 9 ayat (1) tax treaty OECD model

Dalam hal syarat yang dibuat atau diberlakukan oleh 2 (dua) perusahaan dalam hubungan dagang dan hubungan keuangan di antara mereka, yang berbeda dengan syarat apabila transaksi tersebut dilakukan antar perusahaan yang tidak memiliki hubungan istimewa, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterimanya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak yang pantas.

Pasal 16 PP 80/2007

(2) dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

(3) ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dokumen dan/atau informasi tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengelolaannya diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri Keuangan.

Masalah:

1.      Belum ada ketentuan lebih lanjut yang mengatur bagaimana Wajib Pajak harus membuat dokumentasi mengenai transaksi hubungan istimewa.

2.      Tidak ada ketentuan yang menyebutkan sanksi hukum apabila Wajib Pajak melanggar ketentuan tersebut.

3.      Bila DJP menerapkan aturan yang tegas dalam hal dokumentasi transaksi hubungan istimewa ini, maka beban pembuktian bahwa transaksi hubungan istimewa dilakukan dengan harga wajar (ALP) berada pada Wajib Pajak. Sebaliknya, bila tidak ada aturan yang tegas, maka beban pembuktian tersebut bergeser pada DJP, untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak tidak menggunakan harga wajar dalam bertransaksi dengan pihak hubungan istimewa.



Ø  Masalah Lain: Wajib Pajak tidak mengerti dan/atau Mengabaikan urusan Transfer Pricing.

Dari pengalaman berinteraksi dengan Wajib Pajak, ternyata banyak Wajib Pajak yang tidak mengerti atau pura-pura tidak mengerti atau acuh terhadap masalah transfer pricing ini. Meskipun Wajib Pajak mengisi lampiran khusus pernyataan transaksi hubungan istimewa, tetapi mereka tidak mengerti apa konsekuensi dari lampiran SPT yang mereka isi tersebut. Sebagai contoh, sebuah perusahaan besar yang terdaftar di KPP Wajib Pajak Besar, menyatakan dalam lampiran tersebut bahwa mereka menggunakan metode CUP. Karena seluruh penjualan/pembelian dilakukan kepada perusahaan afiliasi, maka sudah tentu Wajib Pajak ini sama sekali tidak memiliki harga pembanding baik pembanding internal maupun eksternal untuk setiap jenis barang yang mereka beli atau jual dari/kepada perusahaan afiliasi. Mereka juga tidak mengadakan dokumentasi atau catatan mengenai transaksi ini. Bahkan, Wajib Pajak juga tidak mengerti bahwa untuk dapat diperbandingkan, Wajib Pajak perlu membuat analisis kesebandingan dalam hal fungsi, aset dan resiko.

Begitu pula dengan Kantor Akuntan Publik yang mengeluarkan laporan audit atas perusahaan tersebut. Meskipun dalam laporan audit, nyata-nyata disebutkan bahwa transaksi antar afiliasi dilakukan berdasarkan harga wajar, tetapi akuntan publik tersebut belum tentu melakukan pengujian harga wajar sebagaimana yang disebutkan pada PSAK no.7. pengujian yang mereka lakukan hanya sebatas pada jumlah transaksi afiliasi tersebut dan harga yang dibayarkan, bukan pada kewajaran harga.

Ø  Contoh Kasus Transfer Pricing dan Perlakuan Perpajakannya



Kasus 1: Pusat perusahaan (Head Office) di luar negeri dari bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia sering mengalokasikan biaya administrasi dan umum (overhead cost) kepada BUT tersebut. Biaya yang dialokasikan tersebut antara lain adalah: (a) Biaya training karyawan BUT di Indonesia yang diselenggarakan kantor pusat di luar negeri; (b) Biaya perjalanan dinas direksi kantor pusat tersebut ke masing-masing BUT; (c) Biaya administrasi/manajemen lainnya dari kantor pusat yang merupakan biaya penyelenggaraan perusahaan; dan (d) Biaya riset dan pengembangan yang dikeluarkan kantor pusat. Perlakuan perpajakannya adalah: alokasi biaya-biaya tersebut diatas diperbolehkan sepanjang sebanding dengan manfaat yang diperoleh masing-masing BUT dan bukan merupakan duplikasi biaya. Biaya kantor pusat yang boleh dialokasikan kepada BUT tidak termasuk bunga atas penggunaan dana kantor pusat, kecuali untuk jenis usaha perbankan, dan royalti/sewa atas harta kantor pusat. Dalam hal berlaku perjanjian penghindaran pajak berganda maka pengalokasian biaya kantor pusat kepada BUT adalah seperti yang diatur dalam perjanjian tersebut. Kewajaran biaya training diatas dapat diuji dengan membandingkan jumlah biaya training yang sama atau sejenis, yang diselenggarakan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Untuk biaya lainnya, maka besarnya biaya yang dapat dialokasikan dihitung berdasar faktor-faktor tertentu yang dapat mencerminkan dengan baik proporsi manfaat yang diterimanya, misalnya perbandingan jumlah peredaran.

Kasus 2:  H Ltd di Hongkong memiliki 80% saham PT C dengan modal yang belum disetor sebesar Rp 200 juta. H Ltd juga memberikan pinjaman sebesar Rp 500 juta dengan bunga 25% atau Rp 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang berlaku adalah 20%. Perlakuan perpajakannya adalah: penentuan kembali jumlah hutang PT C. Pinjaman sebesar Rp 200 juta dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT C yang dapat diakui adalah sebesar Rp 300 juta (Rp 500 juta – Rp 200 juta). Perhitungan pajak penghasilan. Bagi PT C pengurangan biaya bunga yang dapat dibebankan adalah Rp 60 juta (20% X Rp 300 juta) yang berarti koreksi positif penghasilan kena pajak. Selisih Rp 65 juta (Rp 125 juta – Rp 60 juta) dianggap sebagai pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 sebesar 20% atau dengan tarif sesuai dengan perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku.



Saran dan Solusi Pencegahan Praktik Transfer Pricing

1.      Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat diberikan akses terhadap sistem e-KTP yang baru agar dataWP lebih lengkap lagi sehingga mendukung sistem perpajakan.

2.      Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak dapat diberikan akses terhadap sistem perbankan dan ini menyangkut Amandemen UU Perbankan sehingga data transaksi WP orang atau Badan diketahui tentunya dengan persyaratan tertentu.

3.      Diharapkan agar Direktorat Jenderal Pajak mengoptimalkan unit potensi penerimaan pajak agar dapat memetakan karakter-karakter utama perusahaan sehingga dapat dianalisis potensi perpajakan yang masih bisa diintensifikasikan.

4.      Mengaktifkan peran akuntan publik ketentuan paragraf 9 huruf d Standar Professional Akuntan publik (SPAP) No 34 mengatur peranan auditor untuk menguji kewajaran perhitungan jumlah related parties transaction yang diungkapkan dalam laporan keuangan.

5.      Memperluas kriteria transfer pricing tidak hanya related parties, tetapi melebar ke semua transaksi yang diindikasikan di bawah harga pasar wajar, termasuk dengan perusahaan non afiliasi.

6.      Menggunakan data pembanding eksternal dari pelaporan DHE (Devisa Hasil Ekspor), dimana seluruh penerimaan DHE harus melalui Bank Devisa dengan ketentuan eksportir wajib menyampaikan informasi tentang DHE meliputi informasi tanggal PEB, dan NPWP eksportir. (Peraturan Bank Indonesia No.13/20/PBI/2011).

7.      Mengumumkan ke publik tentang proses banding oleh Wajib Pajak yang melakukan transfer pricing sebagai bentuk tekanan moral. Perlu dicermati, pada pasal 50 ayat (1) UU No.14/2002 tentang pengadilan pajak, disebutkan bahwa pengadilan pajak terbuka bagi publik. Dengan pemerintah mengumumkan jalannya peradilan pajak akan membuka mata publik bahwa perusahaan-perusahaan terkenal tersebut ternyata melakukan kecurangan untuk menghindari pajak.

8.      Perlu ada data center, seperti Indonesian Cool index, yang meng-update harga terbaru komoditas tambang. Harga terbaru komoditas diperlukan untuk assesment kewajaran omset penjualan pada SPT tahunan perusahaan pertambangan.

9.      Pembentukan single document window (SDW) antar negara yang telah menerapkan tax treaty, dan forum multilateral seperti, APEC, Model SDW efektif untuk mengawasi harga penerimaan barang antar negara produsen dan konsumen. Dengan model SDW, penerbitan invoice oleh perusahaan perantara abal-abal di tax haven country akan terkena pajak sehingga modus transfer pricing tidak efisien untuk perusahaan tersebut.



v  KESIMPULAN

Kebijakan dalam menentukan transfer pricing menjadi penting karena terkait dengan penilaian kinerja masing-masing anak perusahaan. Penetapan transfer pricing yang tinggi akan menghasilkan keuntungan pada anak perusahaan penjual sebaliknya menjadi biaya pada anak perusahaan pembeli. Tetapi pada akhirnya laba yang sebenarnya akan muncul pada laba perusahaan secara keseluruhan. Hal penting yang harus tetap menjadi perhatian dalam transfer pricing adalah kemampuan perusahaan untuk masuk pada persaingan eksternal sehingga penetapan transfer pricing harus dihitung secara matang.

Pengaruh transfer pricing harus juga dilihat dari sisi Undang-undang pajak agar penetuan transfer pricing tidak menambah beban pajak yang seharusnya tidak terjadi atau seharusnya masih mungkin untuk diminimalkan. Oleh perusahaan multinasional, transfer pricing dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh penghematan pajak secara global dengan merelokasi penghasilan globalnya pada low tax countries dan menggeser biaya-biaya dalam jumlah yang lebih besar pada big tax countries. Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan untuk penghindaran pajak. Namun bila transfer pricing dikategorikan sebagai penggelapan pajak maka perusahaan multinasional dianggap melakukan kriminal pajak dan akan dikenai sanksi pidana perpajakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam rangka terdapat persesuaian transfer pricing antara otoritas pajak dengan Wajib Pajak, berkenaan dengan “arm’s length price” dikembangkan pula dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan suatu model yang mirip dengan model “transfer pricing negoisasi dan transfer pricing arbitrasi” tersebut di atas, dengan diperkenalkannya model “kesepakatan transfer pricing – advance pricing agreement (APA)” seperti yang terlihat dalam pasal 18 Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No.17 Tahun 2000. Meskipun demikian pada praktiknya tidak semua Wajib Pajak dapat menggunakan program AP karena prosedurnya   cukup mahal dan memakan waktu, sehingga bagi Wajib Pajak kecil hal ini menjadi sulit. Oleh karena itu, prosedurnya APA biasanya hanya membantu dalam kasus transfer pricing yang nilainya cukup besar.
















v  DAFTAR PUSTAKA

Anggarwati, Eva dan Rika Lidyah.”Evaluasi Perencanaan Pajak Untuk Meminimalkan Beban Pajak Pada PT. Bukit Asam (persero) Tbk”.


Asyik, Nur Fadjrih.2009.”International Accounting Perspective: Peran Transfer Pricing Dalam Perusahaan Multinasional (Pendekatan Agency Framework)”.JAMBSP, Vol.6 No.1: ISSN 1829-9857


Azlina Nur, Winda Hartanti, dan Desmiyawati.2014.”Analisis Pengaruh Pajak dan Mekanisme Bonus Terhadap Keputusan Transfer Pricing (Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Listing Di Bursa Efek Indonesia”.SNA 17 Mataram, Lombok. 


Budilaksono, Agung dan Widyaiswara.”Potret Kecil Transfer Pricing Dalam Bingkai Besar Perdagangan Dunia”. Pusdiklat Bea dan Cukai.


Chandraningrum, Tri Marta.”Pengaruh Transfer Pricing Terhadap Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional”.

Kamil, Islamiah.”Pajak Internasional”.


Kompasiana. 1 April 2010.”Lika-Liku Transfer Pricing, Mengendus Penghindaran Pajak Melalui Manipulasi Transfer Pricing”.


Lingga, Ita Salsalina.2012.”Aspek Perpajakan Dalam Transfer Pricing dan Problematika Praktik Penghindaran Pajak (tax avoidance)”.Jurnal Zenit, Vol.1 No.3, Desember, Hal 210-221: ISSN 2252-6749


Nurhayati, Indah Dewi.2013.”Evaluasi Atas Perlakuan Perpajakan Terhadap Transaksi Transfer Pricing Pada Perusahaan Multinasional di Indonesia”.Jurnal Manajemen dan Akuntansi, Volume 2 Nomor 1, April.


Permatasari, Paulina.2004.”Transfer Pricing Sebagai Salah Satu Strategi Perencanaan Pajak Bagi Perusahaan Multinasional. Bina Ekonomi, Vol.8 No.1, Januari: 1-109


Prabowo, Eko Yulianto.2010.”Penerapan Analisis…”.Skripsi.Jakarta: Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia


Pramana, Aviandika Heru.2014.”Pengaruh Pajak, Bonus Plan, Tunneling Incentive, dan Debt Covenant Terhadap Keputusan Perusahaan Untuk Melakukan Transfer Pricing”.Skripsi.Semarang: Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Diponegoro.


Pratiwi, Desak Eva Indira.”Tax Planning AS Legal Efforts to Minimize Income Tax (Case Study on KSU Griya Anyar Sari Boga”.


Sanjaya, Cosmas Nico dan Anna Purwaningsih.”Pengaruh Biaya Perdagangan Mitra dan Produk Domestik Bruto Mitra Terhadap Foreign Direct Investment Negara-Negara Asia, Eropa, dan Amerika di Indonesia Dengan Tax Treaty Sebagai Variabel Moderasi”.


Santoso, Imam.2004.”Advance Pricing Agreement dan Problematika Transfer Pricing Dari Perspektif Perpajakan Indonesia”. Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol.6 No.2, November : 123-139


Setiawan, Deddy Arief.”Penentuan Harga Transfer Atas Transaksi Internasional Dari Perspektif Perpajakan Indonesia


Silitonga, Laorens.2013.”Penerapan Tax Planning Atas Pajak Penghasilan Badan Pada CV. Andi Offset Cabang Manado”. Emba, Vol.1 No.3, September, Hal 829-839


Suhfi, Anhar.”Implementasi Tax Planning Untuk Menghemat Pajak Penghasilan Terutang Perusahaan Pada PT. Bukit Asam (persero) Tbk”.


W, Titin Dian, Muhammad Salfi dan Dwiatmanto.”Penerapan Strategi Perencanaan Pajak (tax plnning) Dalam Upaya Penghematan Pajak Penghasilan (studi pada PT BPR Tulus Puji Rejeki, Kediri”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar